Selasa, 09 Juni 2015

BILINGUALISME DAN DIGLOSIA

BILINGUALISME DAN DIGLOSIA



A.    Hakikat Bilingualisme
Masyarakat bahasa adalah masyarakat yang menggunakan satu bahasa yang disepakati sebagai alat komunikasinya. Dilihat dari bahasa yang digunakan dalam suatu masyarakat bahasa, masyarakat bahasa yang menggunakan satu bahasa da nada masyarakat yang menggunakan dua bahasa atau lebih. Masyarakat bahasa yang menggunakan satu bahasa disebut masyarakat monolingual. Sedangkan masyarakat bahasa yang menggunakan dua bahasa atau lebih disebut masyarakat bilingual.
Diera maju dan modern ini barangkali jarang ditemukan masyarakat bahaasa monolingual. Akan tetapi, mungkin masih ada ditemukan misalnya, daerah-daerah terpencil. Ada juga kemungkinan masyarakat generasi lama yang karena satu dan lain hal tidak memiliki kesempatan belajar bahasa lain selain bahasa daerahnya. Setelah menjadi generasi tua, mereka menjadi masyarakat monolingual. Namun dalam kehidupan sehari-hari, ada pula masyarakat bilingual. Setidaknya masyarakat yang menggunakan bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Misalnya, masyarakat yang menggunakan bahasa Sunda dan bahasa Indonesia, bahasa Banjar dengan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia.
Istilah bilingualisme (Inggris:bilingualism) dalam bahasa indonesia disebut juga kedwibahasaan. Dari istilah secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud dengan bilingualisme itu, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara secara sosiolinguitik secara umum, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa atau lebih seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (Mackey 1962:12, Fishman 1975:73). Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai dua bahasa itu. Pertama, bahasa itu sendiri atau bahasa pertamanya (B1) dan bahasa yang kedua (B2). Orang yang menggunakan bahasa kedua tersebut disebut orang yang bilingual (kedwibahasaan). Sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas. Selain istilah bilingualisme juga digunakan istilah multibilingualisme yakni keadaan yang digunakan lebih dari dua bahasa oleh seseorang dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. (Chaer 2010:84)
Konsep umum bahwa bilingualisme adalah digunakannya dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian akan menimbulkan sejumlah masalah, masalah tersebut yang biasa dibahasa kalau yang membicarakan bilingualism. Masalah-masalah tersebut ialah sebagai berikut (lihat Dittmar 1976:170):
1.      Sejauh mana taraf kemampuan seseorang akan B2 (B1 tentunya dapat dikuasi dengan baik) sehingga dia dapat disebut sebagai seorang yang bilingual?
2.      Apa yang dimaksud dengan bahasa dalam bilingualisme? Apakah bahasa dalam pengertian langue, atau sebuah kode, sehingga bisa termasuk sebuah dialek atau sosiolek.
3.      Kapan seorang bilingual menggunakan kedua bahasa itu secara bergantian? Kapan dia bisa harus menggunakan B1-nya, dan kapan pula harus menggunakan B2-nya? Kapan pula dia dapat menggunakannya B1-nya atau B2-nya?
4.      Sejauh mana B1-nya dapat mempengaruhinya B2-nya, atau sebaliknya B2-nya dapat mempengaruhi B1-nya
5.      Apakah bilingualisme itu berlaku pada perseorangan atau juga berlaku pada suatu kelompok masyarakat tutur?
Untuk dapat menjawab pertanyaan pertama, “Sejauh mana penguasaan seseorang akan B2 (B1 tentunya dapat dikuasai dengan baik karena merupakan bahasa ibu) sehingga ia dapat disebut sebagai seorang yang bilingual?”
Bloomfield dalam bukunya yang terkenal Language (1933:56) mengatakan bahwa bilingualisme adalah kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya. Jadi, seseorang dapat disebut bilingual apabila dapat menggunakan B1 dan b2 dengan derajat yang sama baiknya. Robert Lado (1964:214) mengatakan, bilingualisme adalah kemampuan menggunakan bahasa oleh seseorang deng sama baik atau hampir sama baiknya, yang secara teknik mengacu pada pengetahuan dua buah bahasa bagaimanapun tingkatnya. Jadi, penguasaan terhadap kedua bahasa itu tidak perlu sama baiknya, kurang pun boleh. Menurut Haugen (1961) tahu akan dua bahasa atau lebih berarti bilingual. Menurut Haugen selanjutnya, seorang bilingual tidak perlu secara aktif menggunakan kedua bahasa itu, tetapi cukup kalau bisa memahaminya saja. Haugen juga mengatakan, mempelajari bahasa kedua, apalagi bahasa asing, tidak dengan sendirinya akan memberi pengaruh terhadap bahasa aslinya. Lagi pula seseorang yang mempelajari bahasa asing, maka kemampuan bahasa asingnya atau B2-nya akan selalu berada pada posisi di bawah penutur asli bahasa itu.
Dari pembicaraan di atas dapat disimpulkan sebagai jawaban terhadap pertanyaan pertama bahwa pengertian bilingualisme akhirnya merupakan satu rentengan berjanjang mulai menguasai B1 (tentunya dengan baik karena bahasi ibu sendiri) ditambah tahu sedikit akan B2, dilanjutkan dengan penguasaan B2 yang berjenjang meningkat, sampai menguasai B2 itu sama baiknya dengan penguasaan B1. Kalau bilingual sudah sampai tahap ini, maka berarti seorang yang bilingual itu akan dapat menggunakan B1 dan B2 sama baiknya, untuk fungsi dan situasi apa saja dan di mana saja.
Pertanyaan kedua, “Apakah yang dimaksud dengan bahasa dalam bilingualisme. Apakah bahasa itu sama dengan langue, atau bagaimana?” Bloomfield (1933) mengatakan, bahwa menguasai dua buah bahasa, berarti menguasai dua buah sistem kode. Kalau yang dimaksud oleh Bloomfield bahwa bahasa itu adalah kode, maka berarti bahasa itu bukan langue, malainkan parole, yang berupa berbagai dialek dan ragam. Menurut Mackey (1962:12), bilingualisme adalah praktik penggunaan bahasa secara bergantian, dari bahasa satu ke bahasa yang lain, oleh seorang penutur. Untuk pengguanan dua bahasa diperlukan penguasaan kedua bahasa itu dengan tingkat yang sama. Jadi, jelas yang dimaksud dengan bahasa oleh Mackey adalah sama dengan langue. Tetapi pakar lain, Weinrich (1968:12) memberi pengertian bahasa dalam arti luas, yakni tanpa membedakaan tingkatan-tingkatan yang ada di dalamnya. Bagi Weinrich menguasai dua bahasa berarti menguasai dua sistem kode, dua dialek atau ragam dari bahasa yang sama. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Haugen (1968:10) yang memasukan penguasaan dua dialek dari satu bahasa yang sama ke dalam bilingualisme. Demikian juga pendapat Rene Appel (1976:176) yang mengatakan bahwa apa yang dimaksud dua bahasa dalam bilingualisme adalah termasuk juga dua variasi bahasa.
Dari pembicaraan di atas dapat dilihat bahwa yang dimaksud dengan bahasa di dalam bilingualisme itu sangat luas, dari bahasadalam pengertian langue sampai berupa dialek atau ragam dari sebuah bahasa. Kalau yang dimaksud dengan bahasa adalah dialek juga, maka hampir semua anggota nasyarakat Indonesia adalah bilingual, kecuali anggota masyarakat tutur yang jumlah anggotanya sedikit, letaknya terpencil, dan di dalamnya hanya terdapat satu dialek dari bahasa itu.
Pertanyaan ketiga, “Kapan seorang bilingual mengguankan kedua bahasa yang dikuasai secara bergantian? Kapan harus menggunakan B1-nya, kapan pula harus menggunakan B2-nya dan kapan pula dia dapat secara bebas dapat memilih untuk menggunakan B1-nya atau B2-nya?”
Mengenai pertanyaan ketiga, kapan B1 harus digunakan dan kapan B2 harus dipakai. Pertanyaan ini menyangkut masalah pokok sosiolinguistik, “siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan dan dengan tujuan apa”. B1 pertama-tama dan terutama dapat digunakaan dengan para anggota masyarakat tutur yang sama bahasanya dengan penutur. Penggunaan B1 dan B2 tergantung pada lawan bicara, topik pembicaraan, dan seituasi sosial pembicaraan. Jadi, penggunaan B1 dan B2 tidaklah bebas. Masalah ketiga, kapan seorang penutur bilingual dapat secara bebas menggunakan B1 atau B2 adalah agak sukar dijawab. Dalam catatan sosiolinguistik hanya didapati adanya satu masyarakat tutur bilingual yang dapat secara bebas menggunakan salah satu bahasa yang terdapat dalam masyarakat tutur itu, yaitu di Monteral, Kanada.
Pertanyaan keempat, “sejauhmana B1 seorang penutur bilingual dapat mempengaruhi B2-nya, atau sebaliknya, B2-nya dapat mempengaruhi B1-nya.”
Pertanyaan ini menyangkut masalah kefasihan menggunakan kedua bahasa itu, dan kesempatan untuk menggunakannya. Penguasaan B1 oleh seorang bilingual adalah lebih baik daripada penguasaannya terhadap B2, sebab B1 adalah bahasa ibu, yang dipelajari dan digunakan sejak kecil dalam keluarga, sedangkan B2 adalah bahasa yang baru kemudian dipelajari, yakni setelah menguasai B1. Dalam keadaan penguasaan terhadap B1 lebih baik  dari pada B2, dan juga kesempatan untuk mengguankannya lebih luas, maka ada kemungkinan B1 si penutur akan mempengaruhi B2-nya. Seberapah jauh pengaruh B1 terhadap B2 adalah tergantung pada tingkat penguasaannya terhadap B2. Kekurang fasihan seorang penutur bilingual terhadap B2, sehingga B2-nya sering dipengaruhi oleh B1-nya lazim terjadi pada para penutur yang sedang dipelajari B2 itu (Nababan, 1984:32).
Mungkinkah B2 seorang penutur bilingula akan mempengaruhi B1-nya? kemungkinan itu akan ada kalau si penutur biligual itu dalam jangka watu yang cukup lama tidak menggunakan B1-nya, tetapi terus menerus mengguanakn B2-nya.
Pertanyaan kelima, “apakah bilingualisme itu terjadi pada perseorangan atau pada sekelompok penutur atau yang lazim disebut satu masyarakat tutur?”
Pertanyaan ini menyangkut hakikat bahasa dalam kaitanya dengan menggunakannya dalam masyarakat tutur biligual. Mackey (1968:554-555) berpendapat bahwa bilingualisme bukan gajala bahasa, melainkan sifat pengguaan bahasa yang diguanakan penutur biligual secara berganti-ganti. Bilingualisme juga bukan ciri kode, melainkan ciri ekspresi atau pengungkapan seorang penutur. Begitupun bukan bagian dari langue, melainkan bagian dari parole. Mackey juga mengungkapkan kalau bahasa itu memiliki kelompok atau milik bersama suatu masyarakat tutur, maka bilingualisme adalah milik individu-individu para penutur, sebab pengguaan bahasa secara bergantian oleh seorang penutur bilingual mengharuskan adanya dua masyarakat tutur yang berbeda. Menurut Oksaar (1972:478), bahwa bilingualisme bukan hanya milik individu, tetapi juga milik kelompok. Sebab bahasa itu pengguaannya tidak terbatas antara individu dan individu saja, melainkan juga digunakan sebagai alat komunikasi antar kelompok.
Chaer (1994) mengatakan, bahasa itu bukan sekedar alat komunikasi saja, melainkan sebagai alat untuk menunjukan identitas kelompok. Konsep bahwa bahasa merupakan identitas kelompok memeberi peluang untuk menyatakan adanya sebuah masyarakat tutur yang bilingual, yang menggunakan dua buah bahasa sebagai alat komunikasinya. Masyarakat tutur yang demikian tidak hanya terbatas pada sekelompok orang, malah bisa juga meluas meliputi wilayah yang sangat luas, mungkin juga meliputi satu negara. Seperti dikatakan Wolf (1974:5) salah satu ciri bilingualisme adalah digunakannya dua buah bahasa atau lebih oleh seorang atau sekelompok orang dengan tidak adanya peraan tertentu dari kedua bahas itu. Artinya, kedua bahasa itu dapat diguanakan kapada siapa saja, kapan saja, dan dalam situasi bagaimana saja. Pemilihan bahasa mana yang harus diguanakan tergantung pada kemampuan si pembicara dan lawan bicaranya.
Keadan di dalam masyarakat di mana adanya pembedaan pengguaan bahasa berdasarkan fungsi atau peranaanya masing-masing menurut konteks sosialnya, didalam sosiolinguistik dikenal dengan sebutan diglosia.
1.      Masyarakat Bilingual
Masyarakat bilingual yaitu masyarakat yang menguasai dua bahasa atau lebih yang digunakan secara bergantian, namun masing-masing bahasa mempunyai peranannya masing-masing. Contohnya masyarakat Indonesia dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dan bahasa daerah sebagai bahasa intrakelompok.
2.      Masyarakat Monolingual
Monolingual adalah individu yang hanya mengusai satu bahasa saja, lebih – lebih bila konsep bahasa yang dimaksud sangat sempit yakni hanya sebatas pengertian ragam. (wijana dan rohmadi, 2010:55).
Faktor yang mempengaruhi monolingual, antara lain :
§  Didalam masyarakat yang tidak diglosia dan tidak bilingual, tentunya hanya ada satu bahasa dan tanpa variasi serta dapat digunakan untuk segala macam tujuan, keadaan ini hanya mungkin ada dalam masyarakat primitive atau terpencil yang dewasa ini sukar ditemukan. (Fishman dalam Chaer dan Agustina, 2004: 118).
§  Dalam guyub diaglosa, anak-anak kecil mula-mula belajar bahasa L, akibatnya hamper semua anak-anak muda adalah ekabahasawan L. begitu menginjak dewasa kan memperoleh bahasa H, jadilah mereka dwibahasawan L dan H. (Sumarsono dan paina partana, 2002 : 233). (http://flafarichan.blogspot.com/2012/10/monolingual-bilingual-dan-multilingual.html)
B.      Hakikat Diglosia
Kata diglosia berasal dari bahasa Prancis diglossie. Dalam pandangan Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat di mana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranana tertentu. Jadi menurut Ferguson diglosia ialah suatu situasi kebahasaan relatif stabil, di mana selain terdapat jumlah dialek-dialek utama dari suatu bahasa terdapat juga ragam bahasa yang lain
Diglosia adalah suatu situasi bahasa di mana terdapat pembagian fungsional atas variasi-variasi bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di masyarakat. Yang dimaksud ialah bahwa terdapat perbedaan antara ragam formal atau resmi dan tidak resmi atau non-formal. Contohnya misalkan di Indonesia terdapat perbedaan antara bahasa tulis dan bahasa lisan. Agak mirip dengan kedwibahasaan, diglosia adalah penggunaan dua bahasa atau lebih dalam masyarakat, tetapi masing-masing bahasa mempunyai fungsi atau peranan yang berbeda dalam konteks sosial. Ada pembagian peranan bahasa dalam masyarakat dwibahasawan terlihat dengan adanya ragam tinggi dan rendah, digunakan dalam ragam sastra dan tidak, dan dipertahankan dengan tetap ada dua ragam dalam masyarakat dan dilestarikan lewat pemerolehan dan belajar bahasa.
Ada Sembilan topik yang dibicarakan Ferguson dalam diglosia yaitu:
1.      Fungsi
2.      Prestise
3.      Warisan sastra
4.      Pemerolehan
5.      Standarisasi
6.      Stabilitas
7.      Gramatika
8.      Leksikologi
9.      Fonologi
Fenomena diglosia dapat ditemukan pada masyarakat yang bilingual. Di negara lain, Ferguson menemukan koeksintesi antara varian bahasa tinggi dan varian bahasa rendah pada bahasa Arab. Varian bahasa Arab tinggi adalah bahasa Arab klasik dan varian bahasa rendah adalah varian dialekta. Menurut Ferguson varian bahasa tinggi antara lain digunakan dalam khotbah di masjid dan gereja, pidato di parlemen, pidato politik, kuliah di universitas, siaran berita, editorial surat kabar dan puisi. Varian bahasa rendah digunakan dalam sastra rakyat, sandiwara radio, suarat pribadi, pembicara antara teman ataupun keluarga.
v  MULTILINGUAL
Multilingual adalah masyarakat yang mempunyai beberapa bahasa. Masyarakat yang demikian terjadi karena beberapa etnik ikut membentuk masyrakat sehingga dari segi etnik bisa dikatakan sebagai masyarakat majemuk (plural society). (Sumarsono dan Paina Partana, 2002: 76).
Adanya perkembangan bahasa dari monolingual kemudian menjadi bilingual dan pada akhirnya menjadi multilingual disebabkan banyak factor. Perkembangan teknologi komunikasi, adanya globalisasi, pesatnya dunia pendidikan menyebabkan kebutuhan masyarakat mengenai bahasa mengalami pergeseran serta kemajuan jaman secara tidak langsung membaurkan antar bahasa. (http://yosiabdiantindaon.blogspot.com/2012/04/pengertian-diglosia.html).
Dalam sejarah terbentuknya bahasa yang aneka bahasa kita melihat setidak – tidaknya ada 4 pola yaitu melalui migrasi, penjajahan, federasi dan keanekabahasaan diwilayah perbatasan.
ü  Migrasi
Migrasi atau perpindahan pendudukyang menimbulkan masalah kebahasaan hakikatnya dapat dibagi menjadi 2 jenis. Jenis pertama adalah sekelompok besar penduduk yang melebarkan sayap ke wilayah lain yang sudah dihuni oleh kelompok-kelompok lain. Jenis kedua terjadi jika sejumlah kecil anggota etnik memasuki wilayah yang sudah dibawah control nasional lainnya.
ü  Penjajahan
Dalam proses penjajahan control itu dipegang oleh sejumlah orang yang relative sedikit dari nasionalitas pengontrol diwilayah baru itu. 
ü  Federasi
Federasi adalah penyatuan berbagai etnik atau nasionalitas dibawah control politik satu Negara.
ü  Keanekabahasaan diwilayah perbatasan
Asal mula keanekabahasaan bias terjadi diwilayah perbatasan akibatnya diperbatasan bisa jadi ada penduduk yang jadi warganegara A tapi secara sosiokultural menjadi warganegara B. Komplikasi wilayah perbatasan biasanya dihubungkan dengan perang. Bangsa  yang kalah dipaksa untuk menyerahkan sebagian wilayahnya kepada yang menang. 
C.      Diglosia Indonesia
Di Indonesia situasi diglosia dapat dilihat dari dua situasi yaitu (1) situasi pilihan bahasa yaitu antara pilihan bahasa Indonesia dan bahasa daerah. (2) situasi penggunaan varian bahasa yaitu situasi yang dikenakan pada pilihan ragam dalam bahasa Indonesia yakni ragam baku dan tidak baku. Tampanya di Indonesia dalam kehidupan sehari-hari anatara bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing memiliki kedudukan tinggi dan rendahnya sesuai dengan situasinya. Dalam situasi resmi personal bahasa tinggi jatuh kepada bahasa Indonesia,. Kemudian dalam penggunaan ragam baku dan tidak baku tampak ragam baku merupakan ragam tinggi dan ragam tidak baku merupakan ragam rendah. (http://desmawti044.blogspot.com/2014/02/makalah-bilingualisme-dan-diglosia.html)

KONTAK BAHASA DAN AKIBATNYA

KONTAK BAHASA DAN AKIBATNYA

  1. A.  Pengertian
Thomason (2001: 1) berpendapat bahwa kontak bahasa adalah peristiwa penggunaan lebih dari satu bahasa dalam tempat dan waktu yang sama. Penggunaan bahasa ini tidak menuntut penutur untuk berbicara dengan lancar sebagai dwibahasawan atau multibahasawan, namun terjadinya komunikasi antara penutur dua bahasa yang berbeda pun sudah dikategorikan sebagai peristiwa kontak bahasa.
Sebagai contoh, ketika dua kelompok wisatawan saling meminjamkan alat masak selama dua atau tiga jam, mereka pasti akan berusaha untuk saling berkomunikasi satu sama lain. Peristiwa komunikasi ini, meskipun mungkin dalam bentuk yang sangat sederhana, sudah masuk dalam kategori kontak bahasa.
  1. B.  Faktor Penyebab Kontak Bahasa
Thomason (2001: 17-21) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kontak bahasa dapat dikelompokan menjadi lima, yaitu :
  1. a.    Adanya dua kelompok yang berpindah ke daerah yang tak berpenghuni kemudian mereka bertemu disana
Dalam kasus ini, kedua kelompok bukan merupakan kelompok pribumi sehingga satu sama lain tidak menjajah atau merambah wilayah masing-masing. Antartika, sebagai tempat dimana tidak ada populasi manusia yang menetap disana, merupakan contoh dari adanya kontak bahasa dengan sebab ini. Para ilmuwan dari berbagai belahan dunia saling melakukan kontak bahasa dalam perkemahan mereka selama berada disana.
  1. b.   Perpindahan satu kelompok ke wilayah kelompok lain
Peristiwa perpindahan ini bisa dengan cara damai atau sebaliknya, namun kebanyakan tujuan dari adanya perpindahan ini adalah untuk menaklukan dan menguasai wilayah dari penghuni aslinya. Sebagai contoh, pada awalnya masyarakat Indian menerima kedatangan bangsa Eropa dengan ramah, begitu pun sebaliknya. Namun, bangsa Eropa kemudian berkeinginan untuk memiliki tanah Amerika, sehingga ketika jumlah mereka yang datang sudah cukup banyak, mereka mengadakan penaklukan terhadap warga pribumi.
Peristiwa terjadinya kontak bahasa dalam hal ini, yaitu melalui adanya peperangan. Namun, tidak semua kontak bahasa terjadi melalui proses saling bermusuhan. Ada juga yang terjadi melalui perdagangan, penyebaran misi agama serta adanya perkawinan campuran antara warga pribumi dan bangsa Eropa.
Kasus lain terjadinya kontak bahasa yang disebabkan oleh perpindahan ini adalah adanya gelombang imigran dimana para imigran pendatang baru mengambil alih wilayah dari imigran sebelumnya, seperti yang terjadi di New Zealand. Pada awalnya, wilayah tersebut tidak berpenghuni sampai penutur bahasa Maori – bahasa yang masuk dalam cabang Polynesian dari keluarga Austronesian – mendiami wilayah tersebut sebelum 1000 Masehi. Namun kemudian, para imigran Eropa datang dan mengambil alih wilayah dari imigran sebelumnya ini. Adanya peristiwa ini menyebabkan bahasa yang dipakai di New Zealand secara mayoritas adalah bahasa Inggris, meskipun bahasa Maori juga masih dipakai dan dipertahankan keberadaannya.
Hal sama mengenai peristiwa ini juga terjadi di Amerika Utara, dimana para penutur bahasa Spanyol menggusur penduduk pribumi di wilayah California dan barat daya, kemudian para penutur bahasa Inggris berimigrasi dan mengambil alih tanah dan kekuasaan dari para penutur bahasa Spanyol di bagian wilayah yang sekarang disebut sebagai United States.
Namun demikian, di samping perpindahan dengan penaklukan dan penguasaan tersebut, ada pula kontak bahasa yang terjadi dengan jalan damai, yaitu perpindahan kelompok-kelompok kecil atau individu-individu yang tersebar yang bergabung dengan para imigran yang telah datang lebih dulu dan menempati wilayah itu sebelumnya. Kebanyakan para kelompok imigran yang datang ke Amerika menempuh jalan ini, salah satunya adalah Pennsylvania Dutch, yang sebenarnya merupakan penutur bahasa Jerman, bukan Belanda.
  1. c.    Adanya praktek pertukaran buruh secara paksa
Kontak bahasa pada beberapa perkebunan di daerah Pasifik berawal ketika para buruh yang dibawa kesana, beberapa karena pemaksaan, berasal dari berbagai pulau Pasifik yang berbeda. Banyaknya orang Asia Selatan di Afrika Selatan pada awalnya berasal dari pertukaran buruh pada industri tebu sekitar abad XIX. Hal ini menyebabkan bahasa Tamil, salah satu bahasa India, menjadi bahasa minoritas di negara tersebut.
Adanya pertukaran buruh atau budak ini mendorong sosiolinguis untuk membuat perbedaan antara yang secara sukarela atau yang dipaksa untuk berpindah. Perbedaan ini tentu saja memengaruhi sikap mereka terhadap negara yang dituju dan seringkali juga pada hasil kontak bahasa.
Cara berbeda untuk memulai adanya kontak adalah dengan datang ke tempat yang belum dimiliki sebelumnya, yaitu datang bersama-sama dengan tujuan khusus ke wilayah yang netral, seperti yang dilakukan oleh misi Yesuit di St. Ignatius, Montana. Berdasarkan nasihat penduduk setempat, misi ini didirikan di lokasi netral yang tidak menjadi milik suku manapun namun digunakan sejumlah suku asli Amerika sebagai tempat berkumpul dan bertaruh.
Dalam masa-masa eksplorasi, banyak kota yang bermunculan di daerah pantai sepanjang rute perdagangan Eropa. Di kota-kota ini, penduduk pribumi berkumpul untuk bertemu dan melakukan perdagangan dengan para pedagang Eropa. Di pesisir Cina misalnya, orang-orang Eropa hanya diijinkan untuk mendarat di dua lokasi, yaitu Canton dan Macau. Mereka dilarang untuk menjelajah di selain kedua lokasi tersebut.
  1. d.   Adanya hubungan budaya yang dekat antarsesama tetangga lama
Faktor kontak bahasa yang satu ini, menjelaskan pada kita bahwa kita tidak mencari mengenai asal usul adanya kontak, karena hal itu pasti terjadi dahulu kala ketika kelompok-kelompok menjadi tetangga. Kontak bahasa merupakan salah satu hasil dari penggabungan tahunan (untuk tujuan pertahanan) pada sejumlah suku –suku pegunungan di barat laut United States ketika mereka berpindah ke lembah untuk berburu kerbau.
Kontak bahasa juga terjadi sebagai hasil dari perkawinan campuran diantara suku Aborigin Australia yang mempraktekan eksogami. Lebih jauh lagi, ini juga bisa terjadi sebagai hasil dari perdagangan yang dilakukan antar kelompok-kelompok tetangga.
Dalam skala yang lebih kecil, kontak bahasa antar individu bisa terjadi sebagai akibat dari beberapa hal seperti perkawinan campuran yang terjadi antara wanita-wanita Vietnam yang menikah dengan tentara Amerika selama perang Vietnam, pertemuan antara siswa-siswa yang belajar di luar negeri, pengadopsian balita-balita Rumania dan Rusia oleh pasangan-pasangan Amerika, atau bisa juga pelajar yang sedang menjalani pertukaran pelajar dan harus menetap sementara di rumah penduduk setempat.
  1. e.    Adanya pendidikan atau biasa disebut ‘kontak belajar’
Di zaman modern ini, bahasa Inggris menjadi lingua franca dimana semua orang di seluruh dunia harus mempelajari bahasa Inggris jika mereka ingin belajar Fisika, mengerti percakapan dalam film-film Amerika, menerbangkan pesawat dengan penerbangan internasional, serta melakukan bisnis dengan orang Amerika maupun orang-orang asing lainnya. Bahasa Inggris juga menjadi lingua franca dalam komunikasi internasional melalui internet. Banyak orang yang menggunakan bahasa Inggris dengan tujuan ini, tidak berkesempatan (dan kadang bahkan tidak berkeinginan) untuk praktek berbicara dengan penutur asli bahasa Inggris.
Contoh lain dari kontak belajar adalah bahasa Jerman baku di Swiss, dimana penutur bahasa Jerman berdialek Swiss harus belajar bahasa Jerman baku di sekolah. Hal yang sama juga terjadi pada orang muslim di seluruh dunia yang harus mempelajari bahasa Arab klasik untuk tujuan keagamaan, meskipun mereka mungkin tak akan pernah bertemu dengan penutur bahasa Arab dialek modern.
  1. C.  Akibat Kontak Bahasa
Kontak bahasa berhubungan erat dengan terjalinnya kegiatan sosial dalam masyarakat terbuka yang menerima kedatangan anggota dari satu atau lebih masyarakat lain.Thomason (2001:157) mengatakan bahwa adanya lingua franca menyebabkan terjadinya kontak bahasa. Lebih jauh lagi, Thomason menyatakan bahwa tiga hal akibat percampuran bahasa memunculkan bahasa pidgins, creol, dan bahasa bilingual campuran. Fenomena tersebut merupakan fenomena yang saling terpisah, hanya saja untuk pidgin dan creol, dua hal tersebut terjadi secara alami bersama-sama.
Thomason (2001: 158), menyampaikan bahwa bahasa-bahasa yang mengalami kontak tidak harus selalu menjadi lingua franca. Pidgin dan kreol muncul dalam konteks dimana orang-orang dari latar belakang linguistik yang berbeda perlu mengadakan pembicaraan secara teratur, inilah asal muasal lingua franca; sedangkan bahasa bilingual campuran merupakan golongan bahasa tersendiri yang bukan merupakan bahasa dari pergaulan luas.
  • Apa itu pidgin dan kreol?
Thomason (2001:159), menyatakan bahwa pidgin secara tradisional adalah bahasa yang muncul dalam kontak situasi baru yang melibatkan lebih dari dua kelompok kebahasaan. Kelompok-kelompok ini tidak memiliki satupun bahasa yang diketahui secara luas diantara kelompok-kelompok yang saling terkontak. Mereka perlu berkomunikasi secara teratur, namun untuk tujuan yang terbatas, misalnya perdagangan. Dari beberapa kombinasi alasan ekonomi, sosial dan politik, mereka tidak mempelajari bahasa yang digunakan oleh masing-masing kelompok, melainkan hanya mengembangkan pidgin dengan kosakata yang secara khusus digambarkan (meskipun tidak selalu) dari salah satu bahasa yang mengalami kontak. Tata bahasa pidgin tidak berasal dari salah satu bahasa manapun, melainkan merupakan sejenis kompromi persilangan tata bahasa dari bahasa-bahasa yang terkontak, dengan lebih atau sedikit terpengaruh oleh pembelajaran bahasa kedua universal; secara khusus kemudahan belajar membantu menentukan struktur kebahasaan pidgin.
Pandangan-pandangan mengenai pidgin di atas membawa beberapa implikasi, yaitu bahwa pidgin tidak memiliki penutur asli: pidgin selalu digunakan sebagai bahasa kedua (atau ketiga, atau keempat, atau…) dan secara khusus digunakan untuk tujuan terbatas bagi komunikasi antarkelompok. Implikasi yang kedua, yaitu bahwa pidgin mempunyai lebih sedikit bahan atau materi linguistik dibandingkan bahasa nonpidgin – lebih sedikit kata, serta tata bahasa dan sumber gaya dalam sintak dan wacana yang terbatas.Contoh pidginisasi terjadi pada kontak bahasa pada bahasa Bali, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris dalam kawasan pariwisata di Bali.
Selanjutnya creol, creolsangat kontras dengan pidgin, dimana creol mempunyaipenutur asli dalam komunitas ujaran. Seperti pidgin,creol berkembang dalam kontak situasi yang didalamnya melibatkan lebih dari dua bahasa. Creol secara khusus menggambarkan leksikonnya, namun tidak tata bahasanya. Grammar creol sama seperti pidgin yang berasal dari persilangan bahasa yang dikompromikan oleh kreator, seseorang yang mungkin atau tidak mungkin memasukkan penutur asli dari bahasa lexfier. Pada kenyataan beberapa bahasa creol merupakan penutur asli pidgin.
Thomason (2001: 198) juga menyebutkan bahwa akibat lain dari adanya kontak bahasa adalah bahasa bilingual campuran (bilingual mixed languages). Pengistilahan ini merujuk pada fakta bahwa bahasa tersebut diciptakan oleh dwibahasawan, hanya saja agak sedikit melenceng karena pada dasarnya tidak ada batasan berapa jumlah bahasa yang bisa digabungkan untuk membentuk bahasa bilingual campuran ini. Oleh sebab itu, tidak ada alasan mengapa multibahasawan tidak dapat membentuk sebuah bahasa campuran dengan menggambarkan pada tiga atau lebih bahasa yang mereka tuturkan, meskipun Thomason juga mengatakan bahwa dia tidak tahu satupun bahasa campuran yang stabil dimana semua komponennya tergambar dari lebih dari dua bahasa.
Chaer dan Agustina (2010: 84) berpendapat bahwa peristiwa-peristiwa kebahasaan yang mungkin terjadi sebagai akibat adanya kontak bahasa adalah peristiwa bilingualisme, diglosia, alih kode, campur kode, interferensi, integrasi, konvergensi, dan pergeseran bahasa. Berikutnya kita akan membahas satu-persatu peristiwa tersebut.
  1. 1.  Bilingualisme
Spolsky menyebutkan bahwa bilingualisme ialah ketika seseorang telah menguasai bahasa pertama dan bahasa keduanya (45:1998). Sedangkan, Chaer (2007:65-66)menyampaiakan beberapa pendapat ahli sebagai berikut.
  • Blomfield (1995) mengartikan bilingual sebagai penguasaan yang sama baiknya oleh seseorang terhadap dua bahasa.
  • Weinrich (1968) menyebutkan bahwa bilungual merupakan pemakaian dua bahasa oleh seseorang secara bergantian; sedangkan
  • Haugen (1966) mengartikan sebagai kemampuan seseorang untuk menghasilkan tuturan yang lengkap dan bermakna dalam bahasa lain yang bukan termasuk bahasa ibunya.
Dengan demikian, bilingualisme merupakan penguasaan seseorang terhadap dua  bahasa atau lebih (bukan bahasa ibu) dengan sama baiknya. Bilingualisme terjadi pada penutur yang telah menguasai B1 (bahasa pertama) kemudian ia juga mampu berkomunikasi dengan B2 (bahasa kedua) secara bergantian seperti yang terjadi di Montreal.
  1. 2.    Diglosia
Ferguson (melalui Chaer dan Agustina,2010: 92) menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat dimana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu. Contoh dari bahasa Jawa terdapat bahasa Jawa Ngoko, Madya, dan Kromo.
  1. 3.    Alih kode
Alih kode merupakan peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain, baik pada tataran antarbahasa, antarvarian (baik regional atau sosial), antarregister, antarragam, dan antargaya. Secara umum alih kode adalah pergantian (peralihan) pemakaian dua bahasa atau lebih,beberapa variasi dari satu bahasa, atau beberapa gaya dari satu ragam bahasa. Apple (1976:79 melalui Chaer dan Agustina, 107-108) mendefinisikan alih kode itu sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubah situasi. Berbeda dengan Apple yang menyatakan alihkode itu antarbahasa, maka Hymes (1875:103) menyatakan alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antar ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam suatu bahasa. Contoh alih kodeketika penutur A dan B sedang bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa sunda kemudian datang C yang tidak mengerti bahasa sunda maka A dan B beralih kode dalam bahasa Indonesia yang juga dimengerti oleh C.
  1. 4.    Campur kode
Thelender (1976: 103 melalui Chaer dan Agustina, 115: 2010) mencoba menjelaskan mengenai alih kode dan campur kode. Bila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Tetapi apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid phrases), dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode bukan alih kode.Perhatikan percakapan berikut yang dilakukan oleh penutur dwibahasawan Indonesia- Cina Putunghoa di Jakarta, diangkat dari laporan Haryono  (1990 melalui Chaer dan Agustina, 2010: 117).
Lokasi : di bagian iklan kantor surat kabar harian indonesia
Bahasa : indonesia dan cina putunghoa
Waktu           : senin, 18 November 1988, pukul 11. WIB
Penutur : informan III (inf) dan pemasanga iklan (PI)
Topik   : memilih halaman untuk memasang iklan
Inf III : ni mau pasang di halaman berapa? (anda, mau pasang di halaman berapa?)
PI        : di baban aja deh (dihalaman depan sajalah)
Inf III :mei you a! Kalau mau di halaman lain; baiel di baban penuh lho! Nggak ada lagi! ( kalau mau di halaman lain. Hari selasa halaman depan penuh lho. Tidak ada lagi)
PI        : na wo xian gaosu wodejingli ba. Ta yao di baban a (kalau demikian saya beri tahukan direktur dulu. Dia maunya di halaman depan)
Inf III: hao, ni guosu ta ba. Jintian degoang goa hen duo. Kalau mau ni buru-buru datang lagi (baik, kamu beri tahu dia. Iklan hari ini sangat banyak. Kalau kamu mau harus segera datang lagi)
  1. 5.    Interferensi
Interferensi adalah penyimpangan norma bahasa masing-masing yang terjadi di dalam tuturan dwibahasawan (bilingualisme) sebagai akibat dari pengenalan lebih dari satu bahasa dan kontak bahasa itu sendiri. Interferensi meliputi interferensi fonologi, morfologi, leksikal, dan sintaksis. Contoh interferensi fonologi pada kata Bantul èmBantul. Interferensi morfologi pada kata terpukulèkepukul. Hal ini terinterferensi bahasa Indonesia oleh bahasa jawa. Interferensi sintaksis pada kalimat di sini toko laris yang mahal sendirtoko laris adalah toko yang paling mahal di sini. Interferensi leksikon pada kata kamanahèkemana (bahasa Indonesia terinterferensi bahasa Sunda).
  1. 6.    Integrasi
Integrasi merupakan bahasa dengan unsur-unsur pinjaman dari bahasa asing dipakai dan dianggap bukan sebagai unsur pinjaman, biasanya unsur pinjaman diterima dan dipakai masyarakat setelah terjadi penyesuaian tata bunyi atau tata kata dan melalui proses yang cukup lama. Contoh police dari bahasa Inggris yang telah diintegrasikan oleh masyarakat Malaysia menjadi polis, kata research juga telah diintegrasikan menjadi riset.
  1. 7.    Konvergensi
Secara singkat Chaer dan Agustina (2010: 130) menyatakan bahwa ketika sebuah kata sudah ada pada tingkat integrasi, maka artinya kata serapan itu sudah disetujui dan converged into the new language. Karena itu proses yang terjadi dalam integrasi ini lazim disebut dengan konvergensi. Contoh berikut proses konvergensi bahasa indonesia dan sebelah kanan bentuk aslinya.
Klonyoè eau de cologne                     sirsakè zuursak
Sopir è chauffeur                                researchè riset
  1. 8.    Pergesesan bahasa.
Pergeseran bahasa (language shift) menyangkut masalah penggunaan bahasa oleh seorang penutur atau sekelompok penutur yang bisa terjadi sebagai akibat perpindahan dari satu masyarakat tutur ke masyarakat tutur lain (Chaer dan Agustina, 2010: 142). Kalau seorang atau sekelompok orang penutur pindah ketempat lain yang menggunakan bahasa lain, dan bercampur dengan mereka maka akan terjadi pergeseran bahasa.  Contoh pergeseran bahasa Jakarta baru-baru ini telah membuka lapangan kerja bagi para lulusan SMK untuk ditempatkan pada pabrik di kawasan jabodetabek. Kemudian para pemuda yang berasal dari SMK diseluruh Indonesia berbondong untuk menjadi pekerja di pabrik tersebut. Para pemuda yang berasal dari berbagai daerah tersebut pasti akan mengalami kontak bahasa. Ketika mereka berbicara dengan penutur yang berasal dari daerah yang sama maka mereka menggunakan bahasa daerah, namun ketika berbicara bukan dengan penutur yang berasal dari daerah yang sama maka mereka menggunakan bahasa indonesia dialek jakarta. Dengan adanya peritiwa ini maka pergeseran bahasa sangat mungkin terjadi.

BAHASA DALAM KOMUNIKASI

BAHASA DALAM KOMUNIKASI

Pengertian Bahasa.
Menurut Gorys Keraf (1997 : 1), Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Mungkin ada yang keberatan dengan mengatakan bahwa bahasa bukan satu-satunya alat untuk mengadakan komunikasi. Mereka menunjukkan bahwa dua orang atau pihak yang mengadakan komunikasi dengan mempergunakan cara-cara tertentu yang telah disepakati bersama.  Lukisan-lukisan, asap api, bunyi gendang atau tong-tong dan sebagainya.
Tetapi mereka itu harus mengakui pula bahwa bila dibandingkan dengan bahasa, semua alat komunikasi tadi mengandung banyak segi yang lemah.  Bahasa memberikan kemungkinan yang jauh lebih luas dan kompleks daripada yang dapat diperoleh dengan mempergunakan media tadi. Bahasa haruslah merupakan bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bukannya sembarang bunyi. Dan bunyi itu sendiri haruslah merupakan simbol atau perlambang.
2.      Aspek Bahasa.
      Bahasa merupakan suatu sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer, yang dapat diperkuat dengan gerak-gerik badaniah yang nyata. Ia merupakan simbol karena rangkaian bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia harus diberikan makna tertentu pula. Simbol adalah tanda yang diberikan makna tertentu, yaitu  mengacu kepada sesuatu yang dapat diserap oleh panca indra.
      Berarti bahasa mencakup dua bidang, yaitu vokal yang dihasilkan oleh alat ucap manusia, dan arti atau makna yaitu hubungan antara rangkaian bunyi vokal dengan barang atau hal yang diwakilinya,itu. Bunyi itu juga merupakan getaran yang merangsang alat pendengar kita (yang diserap oleh panca indra kita, sedangkan arti adalah isi yang terkandung di dalam arus bunyi yang menyebabkan reaksi atau tanggapan dari orang lain).
      Arti yang terkandung dalam suatu rangkaian bunyi bersifat arbitrer atau manasuka. Arbitrer atau manasuka berarti tidak terdapat suatu keharusan bahwa suatu rangkaian bunyi tertentu harus mengandung arti yang tertentu pula. Apakah seekor hewan dengan ciri-ciri tertentu dinamakan anjing, dog, hund, chien atau canis itu tergantung dari kesepakatan anggota masyarakat bahasa itu masing-masing.
3.      Fungsi Bahasa
      Menurut Felicia (2001 : 1), dalam berkomunikasi sehari-hari, salah satu alat yang paling sering digunakan adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulis. Begitu dekatnya kita kepada bahasa, terutama bahasa Indonesia, sehingga tidak dirasa perlu untuk mendalami dan mempelajari bahasa Indonesia secara lebih jauh. Akibatnya, sebagai pemakai bahasa, orang Indonesia tidak terampil menggunakan bahasa. Suatu kelemahan yang tidak disadari.
      Komunikasi lisan atau nonstandar yang sangat praktis menyebabkan kita tidak teliti berbahasa. Akibatnya, kita mengalami kesulitan pada saat akan menggunakan bahasa tulis atau bahasa yang lebih standar dan teratur. Pada saat dituntut untuk berbahasa  bagi kepentingan yang lebih terarah dengan maksud tertentu, kita cenderung kaku. Kita akan berbahasa secara terbata-bata atau mencampurkan bahasa standar dengan bahasa nonstandar atau bahkan, mencampurkan bahasa atau istilah asing ke dalam uraian kita. Padahal, bahasa bersifat sangat luwes, sangat manipulatif. Kita selalu dapat memanipulasi bahasa untuk kepentingan dan tujuan tertentu. Lihat saja, bagaimana pandainya orang-orang berpolitik melalui bahasa. Kita selalu dapat memanipulasi bahasa untuk kepentingan dan tujuan tertentu. Agar dapat memanipulasi bahasa, kita harus mengetahui fungsi-fungsi bahasa
      Pada dasarnya, bahasa memiliki fungsi-fungsi tertentu yang digunakan berdasarkan kebutuhan seseorang, yakni sebagai alat untuk mengekspresikan diri, sebagai alat untuk berkomunikasi, sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan beradaptasi sosial dalam lingkungan atau situasi tertentu, dan sebagai alat untuk melakukan kontrol sosial (Keraf, 1997: 3).
      Derasnya arus globalisasi di dalam kehidupan kita akan berdampak pula pada perkembangan dan pertumbuhan bahasa sebagai sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi. Di dalam era globalisasi itu, bangsa Indonesia mau tidak mau harus ikut berperan di dalam dunia persaingan bebas, baik di bidang politik, ekonomi, maupun komunikasi.  Konsep-konsep dan istilah baru di dalam pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) secara tidak langsung memperkaya khasanah bahasa Indonesia. Dengan demikian, semua produk budaya akan tumbuh dan berkembang pula sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu, termasuk bahasa Indonesia, yang dalam itu, sekaligus berperan sebagai prasarana berpikir dan sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan iptek itu (Sunaryo, 1993, 1995).
      Hasil pendayagunaan daya nalar itu sangat bergantung pada ragam bahasa yang digunakan. Pembiasaan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar akan menghasilkan buah pemikiran yang baik dan benar pula. Kenyataan bahwa bahasa Indonesia sebagai wujud identitas bahasa Indonesia menjadi sarana komunikasi di dalam masyarakat modern. Bahasa Indonesia bersikap luwes sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana komunikasi masyarakat modern.
a.      Bahasa Sebagai alat ekspresi diri
            Pada awalnya, seorang anak menggunakan bahasa untuk mengekspresikan kehendaknya atau perasaannya pada sasaran yang tetap, yakni ayah-ibunya. Dalam perkembangannya, seorang anak tidak lagi menggunakan bahasa hanya untuk mengekspresikan kehendaknya, melainkan juga untuk berkomunikasi dengan lingkungan di sekitarnya. Setelah kita dewasa, kita menggunakan bahasa, baik untuk mengekspresikan diri maupun untuk berkomunikasi. Seorang penulis mengekspresikan dirinya melalui tulisannya. Sebenarnya, sebuah karya ilmiah pun adalah sarana pengungkapan diri seorang ilmuwan untuk menunjukkan kemampuannya dalam sebuah bidang ilmu tertentu. Jadi, kita dapat menulis untuk mengekspresikan diri kita atau untuk mencapai tujuan tertentu.
            Sebagai contoh lainnya, tulisan kita dalam sebuah buku,  merupakan hasil ekspresi diri kita. Pada saat kita menulis, kita tidak memikirkan siapa pembaca kita. Kita hanya menuangkan isi hati dan perasaan kita tanpa memikirkan apakah tulisan itu dipahami orang lain atau tidak. Akan tetapi, pada saat kita menulis surat kepada orang lain, kita mulai berpikir kepada siapakah surat itu akan ditujukan. Kita memilih cara berbahasa yang berbeda kepada orang yang kita hormati dibandingkan dengan cara berbahasa kita kepada teman kita.
             Pada saat menggunakan bahasa sebagai alat untuk mengekspresikan diri, si pemakai bahasa tidak perlu mempertimbangkan atau memperhatikan siapa yang menjadi pendengarnya, pembacanya, atau khalayak sasarannya. Ia menggunakan bahasa hanya untuk kepentingannya pribadi. Fungsi ini berbeda dari fungsi berikutnya, yakni bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi.
            Sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri, bahasa menyatakan secara terbuka segala sesuatu yang tersirat di dalam dada kita, sekurang-kurangnya untuk memaklumkan keberadaan kita. Unsur-unsur yang mendorong ekspresi diri antara lain :
-          Agar menarik perhatian orang  lain terhadap kita,
-          keinginan untuk membebaskan diri kita dari semua tekanan emosi.
Pada taraf  permulaan, bahasa pada anak-anak sebagian berkembang  sebagai alat untuk menyatakan dirinya sendiri (Gorys Keraf, 1997 :4).
b.      Bahasa sebagai alat Komunikasi.
            Komunikasi merupakan akibat yang lebih jauh dari ekspresi diri. Komunikasi tidak akan sempurna bila ekspresi diri kita tidak diterima atau dipahami oleh orang lain. Dengan komunikasi pula kita mempelajari dan mewarisi semua yang pernah dicapai oleh nenek moyang kita, serta apa yang dicapai oleh orang-orang yang sezaman dengan kita.
            Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita, melahirkan perasaan kita dan memungkinkan kita menciptakan kerja sama dengan sesama warga. Ia mengatur berbagai macam aktivitas kemasyarakatan, merencanakan dan mengarahkan masa depan kita (Gorys Keraf, 1997 : 4).
            Pada saat kita menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi, kita sudah memiliki tujuan tertentu. Kita ingin dipahami oleh orang lain. Kita ingin menyampaikan gagasan yang dapat diterima oleh orang lain. Kita ingin membuat orang lain yakin terhadap pandangan kita. Kita ingin mempengaruhi orang lain. Lebih jauh lagi, kita ingin orang lain membeli hasil pemikiran kita. Jadi, dalam hal ini pembaca atau pendengar atau khalayak sasaran menjadi perhatian utama kita. Kita menggunakan bahasa dengan memperhatikan kepentingan dan kebutuhan khalayak sasaran kita.
            Pada saat kita menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, antara lain kita juga mempertimbangkan apakah bahasa yang kita gunakan laku untuk dijual. Oleh karena itu, seringkali kita mendengar istilah “bahasa yang komunikatif”. Misalnya, kata makro hanya dipahami oleh orang-orang dan tingkat pendidikan tertentu, namun kata besar atau luas lebih mudah dimengerti oleh masyarakat umum. Kata griya, misalnya, lebih sulit dipahami dibandingkan kata rumah atau wisma. Dengan kata lain, kata besar, luas, rumah, wisma, dianggap lebih komunikatif karena bersifat lebih umum. Sebaliknya, kata-kata griya atau makro akan memberi nuansa lain pada bahasa kita, misalnya, nuansa keilmuan, nuansa intelektualitas, atau nuansa tradisional.
            Bahasa sebagai alat ekspresi diri dan sebagai alat komunikasi sekaligus pula merupakan alat untuk menunjukkan identitas diri. Melalui bahasa, kita dapat menunjukkan sudut pandang kita, pemahaman kita atas suatu hal, asal usul bangsa dan negara kita, pendidikan kita, bahkan sifat kita. Bahasa menjadi cermin diri kita, baik sebagai bangsa maupun sebagai diri sendiri.
c.       Bahasa sebagai Alat Integrasi dan Adaptasi Sosial
            Bahasa disamping sebagai salah satu unsur kebudayaan, memungkinkan pula manusia memanfaatkan pengalaman-pengalaman mereka, mempelajari dan mengambil bagian dalam pengalaman-pengalaman itu, serta belajar berkenalan dengan orang-orang lain. Anggota-anggota masyarakat  hanya dapat dipersatukan secara efisien melalui bahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi, lebih jauh memungkinkan tiap orang untuk merasa dirinya terikat dengan kelompok sosial yang dimasukinya, serta dapat melakukan semua kegiatan kemasyarakatan dengan menghindari sejauh mungkin bentrokan-bentrokan untuk memperoleh efisiensi yang setinggi-tingginya. Ia memungkinkan integrasi (pembauran) yang sempurna bagi tiap individu dengan masyarakatnya (Gorys Keraf, 1997 : 5).
            Cara berbahasa tertentu selain berfungsi sebagai alat komunikasi, berfungsi pula sebagai alat integrasi dan adaptasi sosial. Pada saat kita beradaptasi kepada lingkungan sosial tertentu, kita akan memilih bahasa yang akan kita gunakan bergantung pada situasi dan kondisi yang kita hadapi. Kita akan menggunakan bahasa yang berbeda pada orang yang berbeda. Kita akan menggunakan bahasa yang nonstandar di lingkungan teman-teman dan menggunakan bahasa standar pada orang tua atau orang yang kita hormati.
            Pada saat kita mempelajari bahasa asing, kita juga berusaha mempelajari bagaimana cara menggunakan bahasa tersebut. Misalnya, pada situasi apakah kita akan menggunakan kata tertentu, kata manakah yang sopan dan tidak sopan. Bilamanakah kita dalam berbahasa Indonesia boleh menegur orang dengan kata Kamu atau Saudara atau Bapak atau Anda? Bagi orang asing, pilihan kata itu penting agar ia diterima di dalam lingkungan pergaulan orang Indonesia. Jangan sampai ia menggunakan kata kamu untuk menyapa seorang pejabat. Demikian pula jika kita mempelajari bahasa asing. Jangan sampai kita salah menggunakan tata cara berbahasa dalam budaya bahasa tersebut. Dengan menguasai bahasa suatu bangsa, kita dengan mudah berbaur dan menyesuaikan diri dengan bangsa tersebut.
d.      Bahasa sebagai Alat Kontrol Sosial
            Sebagai alat kontrol sosial, bahasa sangat efektif. Kontrol sosial ini dapat diterapkan pada diri kita sendiri atau kepada masyarakat. Berbagai penerangan, informasi, maupun pendidikan disampaikan melalui bahasa. Buku-buku pelajaran dan buku-buku instruksi adalah salah satu contoh penggunaan bahasa sebagai alat kontrol sosial.
            Ceramah agama atau dakwah merupakan contoh penggunaan bahasa sebagai alat kontrol sosial. Lebih jauh lagi, orasi ilmiah atau politik merupakan alat kontrol sosial. Kita juga sering mengikuti diskusi atau acara bincang-bincang (talk show) di televisi dan radio. Iklan layanan masyarakat atau layanan sosial merupakan salah satu wujud penerapan bahasa sebagai alat kontrol sosial. Semua itu merupakan kegiatan berbahasa yang memberikan kepada kita cara untuk memperoleh pandangan baru, sikap baru, perilaku dan tindakan yang baik. Di samping itu, kita belajar untuk menyimak dan mendengarkan pandangan orang lain mengenai suatu hal.
            Contoh fungsi bahasa sebagai alat kontrol sosial yang sangat mudah kita terapkan adalah sebagai alat peredam rasa marah. Menulis merupakan salah satu cara yang sangat efektif untuk meredakan rasa marah kita. Tuangkanlah rasa dongkol dan marah kita ke dalam bentuk tulisan. Biasanya, pada akhirnya, rasa marah kita berangsur-angsur menghilang dan kita dapat melihat persoalan secara lebih jelas dan tenang.
   B. Bahasa dan aspek-aspek social.
1.      Bahasa Sebagai Alat Komunikasi Poltik.
Salah satu system isyarat yang paling penting bagi anusia adalah Bahasa (Littlejohn, 1996). Dalam bahasa, isyarat terdiri dari pengelompokan sesuatu yang memeiliki makna susara-suara di dombinasikan ke dalam frase-frase, kalusa-klausa dan kalimat-kalimat, yang menunjukan objek. Baasa sebagai alata komunikasi, pada hakekatnya bersifat netral (heryanto, 1989), tetapi dapat di gunakan pa tempat yang bersifat baik, dan tidak baik. Bahasa menjadi makna yang salah jika pengertian yang kabur tidak bisa di batasi penggunaanya, terutama terjadi antara penguasa da n masyarakatnya. Bahkan dalam segala hal penguasa akan mengaburkan fakta yang tidak menyenangkan masyarakatnya. Sebagai contoh penguasa yang tidak datang pada pertemuan penting yang telah di tentukan jadwalnya, penguasa tidak akan mengatakan  kesalahannya secara langsung “Saya Bersalah” tapi akan mengatakan, “maaf saya alfa, khilaf” (lubis, 1989). Oeh karena itu bahasa merupakan factor determinan dalam kontaksi social bermarsyarakat.
 Bahasa memebentuk suatu ikatan social melalaui interaksi dan proses saling mempengaruhi penggunanya.terkait dengan bahasa Indonesia, pada jaman penjajahan jepang,pengarahan tenaga kerja bangsa Indonesia membuat bangsa jepang harus berbahasa Indonesia untuk propaganda dengan mencapai tujuan dengan cepat. Akibat yang di timbulkan dari itu adalah tersebarnya bahasa Indonesia ke seluruh penjuru Indonesia, pulau-pulau dan desa-desa di pegunungan terpencil dengan cepat.
2.      Bahasa dan Budaya.
Bahasa juga merupakan sarana komunikasi budaya yang penting karena menggambarkan kebudayaan pemakai bahasa tersebut dan membudidayakannya melalaui penggunaanya. Apapun tradisi, apapun reaksi, apapun hasil kebudayaan yang kita miliki, dapat degera punah dan dan berganti. Bahasa memiliki durasi yang jauh lebih panjang jika di bandingkan dengan produk-produk lainnya. Dengan bahasalah suatu bangsa mengemukakan dan menemukan seluruh harapan, obsesi/mimpi, kenyataan, kekuatan, maupun prote-protesnya dalam kehidupan, sehingga bahasa menjadi vital dalam hidup kit. Bahkan kini menjadi senjata bagi kita karna dapatmenentukan bahkan menguasai seseorang atau sebuah bangsa, hanya dengan berkomunikasi dengan haasa.
Untuk  melihat  bahasa  sebagai alat,  kita  harus  mensugesti diri  bahwa  kita  melakukan segala  hal  dengan  bahasa. Bahasa adalah tindakan dan pembimbing  menuju  tindakan  itu.Bahasa dalam  konteks  penggunaan sosialnya  dapat secara temporer ditetapkan  untuk tujuan-tujuan praktis.