Minggu, 03 Mei 2015

RUMAH SOSIOLINGUISTIK



Sejarah dan lingkup sosiolinguistik

 Ilmu sosiolinguistik, mulanya, muncul sebagai rasa tidak puas para pakar pada linguistik struktural. Mengapa demikian? Menurut mereka, linguistik struktural melakukan kajian bahasa dalam aspek struktur semata. Hal itu tentu tidak mengacuhkan aspek sosial dalam kajian analisa. 

Adapun rancangan sosiolinguistik ini sesungguhnya telah muncul ketika adanya sebuah hasil peneliatian berupa laporan oleh Labov. Judul dari penelitian tersebut adalah Social Stratification of English in New York City. Seorang pengemuka linguistik dari aliran London, Firth mengemukakan bahwa tuturan memiliki aspek sosial selaku media/alat berkomunikasi. Ia juga menambahkan, aspek-aspek tersebut bisa mengelompokkan seseorang ke dalam suatu kaum/kelas/strata sosial. Dengan demikian, ilmu mengenai tuturan ini sudah seharusnya mengindahkan para penutur dan struktur itu sendiri, sehingga pertimbangan mengenai segala hal yang merupakan kemungkinan mengapa struktur yang ini atau yang itu dipakai oleh seseorang, ada penjelasan di dalamnya.

Hymes berpendapat bahwa istilah dari sosiolinguistik ini telah diperkenalkan sekitar tahun 1960. Tahun tersebut memiliki sebuh tanda, yakni lahirnya buku karya Hymes, Language in Culture and Society, tahun 1966. Tokoh lainnya, Fishman, kemudian meluncurkan suatu kumpulan tulisan dengan judul Reading in The Sociology of Language pada tahun 1968. Masih pada tahun yang sama, Fishman berkolaborasi dengan Das Gupta dan Ferguson untuk menyajikan dan mengekspos sebuh kumpulan dari makalah. Kumpulan tulisan itu berjudul Language Problems of Developing Nations.
 
Ruang Lingkup Sosiolingusitik
Sosiolinguitik meliputi tiga hal, yakni bahasa, masyarakat, dan hubungan antara bahasa dan masyarakat. Cakupan sosiolinguistik akan semakin jelas jika kita lihat paparan yang membandigkan sosiolinguistik dengan dengan bidang studi lain yang terkait sebagaimana dijelaskan di bawah ini:
1.      Sosiolinguistik dengan Sosiologi
Sosiologi mempelajari anatara lain struktur sosial, organisasi kemasyarakatan, hubungan antar anggota masyarakat, tingkah laku masyarakat. Secara konkret, sosiologi mempelajari kelompok-kelompok dalam masyarakat. Di dalam masyarakat ada semacam lapisan, seperti lapisan penguasa dan lapisan rakyat jelata, atau kasta-kasta yang berjenjang juga dipelajari sosiologi. Sampai tahap tertentu sosiologi memang menyentuh bahasa. Objek utama sosiologi  bukan bahasa, melainkan masyarakat, dan dengan tujuan mendeskripsikan masyarakat dan tingkah laku. Dan objek utama sosiolinguistik adalah variasi bahasa, bukan masyarakat.
2.      sosiolinguistik dengan Linguistik Umum
Linguistik umum (general linguistics) seringkali disebut linguistik saja, mencakup fonologi, morfologi, dan sintaksis. Linguistik disini hanya berbicara tentang struktur bahasa, mencakup bidang struktur bunyi, struktur morfologi, struktur kalimat dan struktur wacana. Linguistik menitik beratkan pembicaraan pada bunyi-bunyi bahasa, karena atas dasar anggapan, bahasa itu berupa bunyi-bunyi yang berstruktur dan bersistem. Linguistik mempunyai pandangan monolitik terhadap bahasa. Artinya, bahasa dianggap satu sistem yang tunggal, 1. Linguistik melihat bahasa sebagai suatu sistem tertutup suatu sistem yang berdiri sendiri terlepas dari kaitannya dengan struktur masyarakat. 2. Sosiolinguistik melihat bahasa sebagai suatu sistem tetapi yang berkaitan dengan struktur masyarakat, bahasa dilihat sebagai sistem yang tidak terlepas dari ciri-ciri penutur dan dari nilai-nilai sosiobudaya yang dipatuhi oleh penutur itu, jadi bahasa dilihat sebagai sistem yang terbuka. Sosiolinguistik menitik beratkan fungsi bahasa dalam penggunaan, makna bahasa secara sosial.
3.      Sosiolinguistik dengan Dialektologi
Dialektologi adalah kajian tentang variasi bahasa. Dialektologi mempelajari berbagai dialek dalam suatu bahasa yang tersebar diberbagai wilayah. Tujuan untuk mencari hubungan kekeluargaan diantara berbagai dialek-dialek itu juga menentukan sejarah perubahan bunyi atau bentuk kata, berikut maknanya, dari masa ke masa dan dari saru tempat ke tempat lain. Titik berat kajian terletak pada kata. Setelah ditemukan sejumlah kata yang mempunyai berbagai bentuk atau lafal pada sejumlah dialek diberbagi tempat, dialektologi membuat semacam peta, yakni peta dialek. Peta itu tertera garis-garis yang menghubungkan tempat satu ketempat yang lain.
4.      Sosiolinguistik dengan Retorika
Retorika sebagai kajian tentang tutur terpilih. Salah satu cabangnya adalah kajian tentang gaya bahasa. Seseorang yang akan bertutur memepunyai kesempatan untuk menggunakan berbagai variasi dan untuk itu bahasa menyediakan bahan-bahannya. Retorika mempunyai kesejajaran dengan sosiolinguistik, yaitu variasi bahasa sebagai objek studi keduanya. Tetapi tidak seperti retorika. Sosiolonguistik tidak hanya memperhatikan bentuk-bentuk bahasa yang terpilih saja. Sosiolinguistik mempelajari semua variasi yang ada, kemudian dikaitkan dengan dasar atau faktor yang memunculkan variasi itu. Retorika cenderung kearah kajian tutur individu.
5.      Sosiolinguistik dengan Psikologi Sosial
Sosiologi sosial merupakan paduan antara kajian sosiologi dengan psikologi, tetapi merupakan bagian dari kajian psikologi. Psikologi mengurusi masalah mental individu, seperti inteligensi, minat, sikap, kepribadian, dan semacamnya. Sosiolinguistik berkaitan dengan bahasa masyarakat, hubungan antara sosiolinguistik dengan psikologi sosial tentu ada. Pendekatan psikologi sosial dipakai di dalam menganalisis.
6.      Sosiolinguistik dengan Antropologi
Antropologi adalah kajian tentang masyarakat dari sudut kebudayaan dalam arti luas. Kebudayaan dalam arti luas seperti kebiasaan, adat, hukum, nilai, lembaga sosial, religi, teknologi, bahasa. Bagi antropologi bahasa dianggap sebagai ciri penting bagi jati diri (identitas) bagi sekelompok orang berdasarkan etnik.
7.      Sosiolinguistik Makro dengan Sosiolinguistik Mikro
sosiolinguistik makro adalah ruang lingkup sosiolinguistik yang berhubungan dengan masalah prilaku bahasa dan struktur sosial. Kajian intinya adalah komunikasi antar kelompok, barangkali didalam konteks satu kelompok masyarakat, misalnya tentang penggunaan bahasa ibu dengan bahasa local oleh kelompok-kelompok linguistic minoritas. Sedangkan sosiolinguistik mikro adalah ruang lingkup sosiolinguistik yang berhubungan dengan kelompok kecil. Titik pusat pengkajian mikro sosiolinguistik adalah tingkah ujar (speech act) (Sharle,1965) yang terjadi didalam kelompok-kelompok primair menurut sosiolog, dan tingkah ujar itu dimodifikasi oleh variable-variabel seperti status keakraban (intimasi), pertalian keluarga, sikap dan tujuan antar tiap anggota kelompok. Kebanyakan variable linguistik digolongkan kedalam kelompok yang umunya disebut register (Crystal dan Davi, 1969) dan bukan dalam kelompok dialek, yaitu variable yang diakibatkan oleh penggunaan bahasa oleh individu dalam variable tertentuyang diamati,dan bukan pula variasi yang diakobatkan oleh karakteristik yang relative permenen pada diri si pemakai bahasa seperti umur, kelas sosioal, pendidikan dan seterusnya.
Kedua istilah ini, makro dan mikro mengaju pada luas dan sempit cakupan. Jika sosiolinhuistik membicarakan masalah-masalah “besar dan luas”, ia masuk sosiolinguistik makro. Sebaliknya, jika yang dibicarakan masalah-masalah “kecil dan sempit ” ia masuk sosiolinguistik mikro.
Sosiolinguistik mikro menurut Roger Bell (1976), lebih menekankan perhatian pada interaksi bahasa antar penutur didalam suatu kelompok guyuk tutur (intragrupinteraction), sedangkan sosiologi makro menitik beratkan perhatian kepada interaksi antar penutur dalam kontek antar kelompok (intragrupinteraction).






 Sosiolinguistik Dengan Ilmu Lain
 
Sosiolinguistik mengkaji bahasa, masyarakat, dan hubungan bahasa dengan masyarakat. Cakupan sosiolinguistik akan semakin jelas jika dilihat hubungan sosiolinguistik denga ilmu lain yang terkait. Ada 3 sub ilmu yang berkaitan dengan sosiolinguistik, antara lain:
a.              Sosiolinguistik dengan Ilmu Sosiologi
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan mausia sebagai individu ataupun sebagai kelompok masyarakat. Dengan demikian objek kajian sosiologi adalah proses hubungan antar manusia dalam masyarakat. Sumarsono dan Paina, (2002; 5) mengatakan bahwa sosiologi mempelajari antara lain struktur sosial, organisasi kemasyarakatan, hubungan antar anggota masyarakat dan tingkah laku masyarakat.
            Keeratan hubungan sosiolinguistik dengan sosiologi dapat dilihat dalam penggunaan metode penelitian. Misalnya dalam pengumpulan data penelitian, baik sosiologi maupun sosiolinguistik menggunakan metode wawancara, rekaman, pengumpulan dokumen, dsb. Sedangkan dalam pengolahan data menggunakan metode deskriptif ( Sumarsono dan Paina, 2002:6).
b.              Sosiolinguistik dengan Pragmatik
            Pragmatik adalah (1). Aspek-aspek pemakaian bahasa atau konteks luar bahasa yang memberikan sumbangan pada makna ujaran, (2). Syarat-syarat yang mengakibatkan serasi atau tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi. Kridalaksana (1993:176)
            Keeratan hubungan sosiolinguistik dengan pragmatik dapat dilihat pada penggunaan bahasa dalam masyarakat misalnya komunikasi akan menjadi lancar (sosiolinguistik) apabila pembicara atau mitra wicara memiliki pengetahuan yang sama (pragmatik) sehingga komunikasi akan menjadi serasi.
c.              Sosiolinguistik dengan Antropologi
            Antropologi mempelajari manusia dan kebudayaan, system kemasyarakatan. Antropologi adalah kajian tentang masyarakat dari sudut kebudayaan dalam arti luas yang mencakup hal-hal seperti kebiasaan, adat, hukum, nilai, lembaga sosial, religi, teknologi, dan bahasa (sumarsono dan Paina, (2002: 13).
            Hubungan antara sosiolinguistik dengan antropologi, bahwa bagi antropologi, bahasa sering kali dianggap sebagai ciri penting bagi jati diri sekelompok  orang berdasarkan etnik. Setiap etnik akan berkomunikasi denggan etnik lain. Dengan bahasa masyarakat kita dapat mempelajari kebudayaan. (Sumarsono dan Paina, 2003:13).
            Demikian keterkaitan sosiolinguistik dengan ilmu lain yang dapat memberikan gambaran secara ringkas tentang komonikasi antar masyarakat dari sudut sosiologi, pragmatik dan antropologi.












Ruang Lingkup Sosiolingusitik

Sosiolinguitik meliputi tiga hal, yakni bahasa, masyarakat, dan hubungan antara bahasa dan masyarakat. Cakupan sosiolinguistik akan semakin jelas jika kita lihat paparan yang membandigkan sosiolinguistik dengan dengan bidang studi lain yang terkait sebagaimana dijelaskan di bawah ini:
1.      Sosiolinguistik dengan Sosiologi
Sosiologi mempelajari anatara lain struktur sosial, organisasi kemasyarakatan, hubungan antar anggota masyarakat, tingkah laku masyarakat. Secara konkret, sosiologi mempelajari kelompok-kelompok dalam masyarakat. Di dalam masyarakat ada semacam lapisan, seperti lapisan penguasa dan lapisan rakyat jelata, atau kasta-kasta yang berjenjang juga dipelajari sosiologi. Sampai tahap tertentu sosiologi memang menyentuh bahasa. Objek utama sosiologi  bukan bahasa, melainkan masyarakat, dan dengan tujuan mendeskripsikan masyarakat dan tingkah laku. Dan objek utama sosiolinguistik adalah variasi bahasa, bukan masyarakat.
2.      sosiolinguistik dengan Linguistik Umum
Linguistik umum (general linguistics) seringkali disebut linguistik saja, mencakup fonologi, morfologi, dan sintaksis. Linguistik disini hanya berbicara tentang struktur bahasa, mencakup bidang struktur bunyi, struktur morfologi, struktur kalimat dan struktur wacana. Linguistik menitik beratkan pembicaraan pada bunyi-bunyi bahasa, karena atas dasar anggapan, bahasa itu berupa bunyi-bunyi yang berstruktur dan bersistem. Linguistik mempunyai pandangan monolitik terhadap bahasa. Artinya, bahasa dianggap satu sistem yang tunggal, 1. Linguistik melihat bahasa sebagai suatu sistem tertutup suatu sistem yang berdiri sendiri terlepas dari kaitannya dengan struktur masyarakat. 2. Sosiolinguistik melihat bahasa sebagai suatu sistem tetapi yang berkaitan dengan struktur masyarakat, bahasa dilihat sebagai sistem yang tidak terlepas dari ciri-ciri penutur dan dari nilai-nilai sosiobudaya yang dipatuhi oleh penutur itu, jadi bahasa dilihat sebagai sistem yang terbuka. Sosiolinguistik menitik beratkan fungsi bahasa dalam penggunaan, makna bahasa secara sosial.
3.      Sosiolinguistik dengan Dialektologi
Dialektologi adalah kajian tentang variasi bahasa. Dialektologi mempelajari berbagai dialek dalam suatu bahasa yang tersebar diberbagai wilayah. Tujuan untuk mencari hubungan kekeluargaan diantara berbagai dialek-dialek itu juga menentukan sejarah perubahan bunyi atau bentuk kata, berikut maknanya, dari masa ke masa dan dari saru tempat ke tempat lain. Titik berat kajian terletak pada kata. Setelah ditemukan sejumlah kata yang mempunyai berbagai bentuk atau lafal pada sejumlah dialek diberbagi tempat, dialektologi membuat semacam peta, yakni peta dialek. Peta itu tertera garis-garis yang menghubungkan tempat satu ketempat yang lain.
4.      Sosiolinguistik dengan Retorika
Retorika sebagai kajian tentang tutur terpilih. Salah satu cabangnya adalah kajian tentang gaya bahasa. Seseorang yang akan bertutur memepunyai kesempatan untuk menggunakan berbagai variasi dan untuk itu bahasa menyediakan bahan-bahannya. Retorika mempunyai kesejajaran dengan sosiolinguistik, yaitu variasi bahasa sebagai objek studi keduanya. Tetapi tidak seperti retorika. Sosiolonguistik tidak hanya memperhatikan bentuk-bentuk bahasa yang terpilih saja. Sosiolinguistik mempelajari semua variasi yang ada, kemudian dikaitkan dengan dasar atau faktor yang memunculkan variasi itu. Retorika cenderung kearah kajian tutur individu.
5.      Sosiolinguistik dengan Psikologi Sosial
Sosiologi sosial merupakan paduan antara kajian sosiologi dengan psikologi, tetapi merupakan bagian dari kajian psikologi. Psikologi mengurusi masalah mental individu, seperti inteligensi, minat, sikap, kepribadian, dan semacamnya. Sosiolinguistik berkaitan dengan bahasa masyarakat, hubungan antara sosiolinguistik dengan psikologi sosial tentu ada. Pendekatan psikologi sosial dipakai di dalam menganalisis.
6.      Sosiolinguistik dengan Antropologi
Antropologi adalah kajian tentang masyarakat dari sudut kebudayaan dalam arti luas. Kebudayaan dalam arti luas seperti kebiasaan, adat, hukum, nilai, lembaga sosial, religi, teknologi, bahasa. Bagi antropologi bahasa dianggap sebagai ciri penting bagi jati diri (identitas) bagi sekelompok orang berdasarkan etnik.
7.      Sosiolinguistik Makro dengan Sosiolinguistik Mikro
sosiolinguistik makro adalah ruang lingkup sosiolinguistik yang berhubungan dengan masalah prilaku bahasa dan struktur sosial. Kajian intinya adalah komunikasi antar kelompok, barangkali didalam konteks satu kelompok masyarakat, misalnya tentang penggunaan bahasa ibu dengan bahasa local oleh kelompok-kelompok linguistic minoritas. Sedangkan sosiolinguistik mikro adalah ruang lingkup sosiolinguistik yang berhubungan dengan kelompok kecil. Titik pusat pengkajian mikro sosiolinguistik adalah tingkah ujar (speech act) (Sharle,1965) yang terjadi didalam kelompok-kelompok primair menurut sosiolog, dan tingkah ujar itu dimodifikasi oleh variable-variabel seperti status keakraban (intimasi), pertalian keluarga, sikap dan tujuan antar tiap anggota kelompok. Kebanyakan variable linguistik digolongkan kedalam kelompok yang umunya disebut register (Crystal dan Davi, 1969) dan bukan dalam kelompok dialek, yaitu variable yang diakibatkan oleh penggunaan bahasa oleh individu dalam variable tertentuyang diamati,dan bukan pula variasi yang diakobatkan oleh karakteristik yang relative permenen pada diri si pemakai bahasa seperti umur, kelas sosioal, pendidikan dan seterusnya.
Kedua istilah ini, makro dan mikro mengaju pada luas dan sempit cakupan. Jika sosiolinhuistik membicarakan masalah-masalah “besar dan luas”, ia masuk sosiolinguistik makro. Sebaliknya, jika yang dibicarakan masalah-masalah “kecil dan sempit ” ia masuk sosiolinguistik mikro.
Sosiolinguistik mikro menurut Roger Bell (1976), lebih menekankan perhatian pada interaksi bahasa antar penutur didalam suatu kelompok guyuk tutur (intragrupinteraction), sedangkan sosiologi makro menitik beratkan perhatian kepada interaksi antar penutur dalam kontek antar kelompok (intragrupinteraction).


Hubungan bahasa dengan faktor sosial 

      Manusia adalah mahkluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri melainkan selalu berinteraksi dengan sesamanya. Untuk keperluan tersebut, manusia menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi sekaligus sebagai identitas kelompok. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan terbentuknya berbagai bahasa di dunia yang memiliki ciri-ciri yang unik yang menyebabkannya berbeda dengan bahasa lainnya.
Hubungan antara bahasa dengan konteks sosial tersebut dipelajari dalam bidang Sosiolinguistik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Trudgill bahwa “Sosiolinguistik adalah bagian linguistik yang berkaitan dengan bahasa, fenomena bahasa dan budaya. Bidang ini juga mengkaji fenomena masyarakat dan berkaitan dengan bidang sains sosial seperti Antropologi atau sistem kerabat (Antropologi) bisa juga melibatkan geografi dan sosiologi serta psychologi sosial”.
Manakala, Fishman menyatakan bahwa Sosiolinguistik memiliki komponen utama yaitu ciri-ciri bahasa dan fungsi bahasa. Fungsi bahasa dimaksud adalah fungsi sosial (regulatory) yaitu untuk membentuk arahan dan fungsi interpersonal yaitu menjaga hubungan baik serta fungsi imajinatif yaitu untuk menerangkan alam fantasi serta fungsi emosi seperti untuk mengungkapkan suasana hati seperti marah, sedih, gembira dan apresiasi. Perkembangan bahasa yang sejalan dengan perkembangan kehidupan manusia di abad modern menunjukkan fenomena yang berubah-ubah antara lain dengan penggunaan bahasa sebagai alat pergaulan tertentu yang dikenal dengan variasi bahasa seperti jargon dan argot.

2.2 Menjelaskan hubungan bahasa dengan kelas sosial.
Kelas sosial (sosial class) mengacu pada golongan masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu dalam bidang  kemasyarakatan seperti ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta, dan sebagainya. Misalnya si A adalah seorang bapak di keluarganya, yang  juga berstatus sosial sebagai guru. Jika dia guru di sekolah negeri , dia juga masuk ke dalam kelas pegawai negeri. Jika dia seorang sarjana, dia bisa masuk kelas sosial golongan “terdidik” dan sebagainya.

Ragam bahasa kelas sosial
Kita melihat di Indonesia kelas sekelompok pejabat yang mempunyai kedudukan tinggi. Tetapi ragam bahasanya justru nonbaku. Ragam bahasa mereka dapat dikenali dari segi lafal mereka, yaitu akhiran –kan yang dilafalkan –ken. Jadi perbedaan atau penggolongan kelompok masyarakat  manusia tercermin dalam ragam bahasa golongan masyarakat itu. 

Peranan Labov
Tahun 1966, William Labov menerbitkan hasil penelitiannya yang luas tentang tutur kota New York, berjudul The Social Stratification of English in New York City (lapisan sosial Bahasa Inggris di Kota New York). Ia mengadakan wawancara yang direkam, tidak dengan sejumlah kecil informan, hanya terdiri dari 340 orang. Dengan ini Lobov memasukkan metode sosiologi ke dalam penelitiannya. Sosiologi menggunakan metode pngukuran kuantitatif dengan jumlah besar, dan dengan metode sampling. 

Kelas sosial dan ragam baku
Ada kaidah yang baku dalam bahasa Inggris. Jika subjek adalah kata ganti orang ke tiga tunggal (she, he, it), predikat kata kerjanya harus menggunakan sifiks-s. kemudian diadakan penelitian apakah ada hubungan antara kelompok sosial dengan gejala bahasa ini. Penelitian diadakan di dua tempat, yaitu di Detroit (AS) dan di Norwich (Inggris). Informannya meliputi berbagai tingkat kelas sosial, yaitu:
Kelas Menengah Tinggi (KMT)
Kelas Menengah Atas (KMA)
Kelas pekerja (buruh) menengah (KPM)
Kelas pekerja bawah (KPB)

Keterkaitan Bahasa dengan Komunikasi
Bahasa dengan komunikasai sangat berhubungan. Dalam setiap komunikasi bahasa ada dua pihak yang terlibat, yaitu pengirim pesan (sender) dan penerima pesan (receiver). Ujaran (berupa kalimat atau kalimat-kalimat) yang digunakan untuk menyampaikan pesan (berupa gagasan, pikiran, saran, dan sebagainya) itu disebut pesan. Dalam ini pesan tidak lain pembawa gagasan (pikiran, saran, dan sebagainya) yang disampaikan pengirim (penutur) kepada penerima (pendengar). Setiap proses komunikasi bahasa dimulai dengan si pengirim merimuskan terlebih dahulu yang ingin diujarkan dalam suatu kerangka gagasan. Proses ini dikenal sebagai istilah semantic encoding.
Ada dua macam komunikasi bahasa, yaitu komunikasi searah dan komunikasi dua arah. Dalam komunikasi searah, si pengirim tetap sebagai pengirim, dan si penerima tetap sebagai penerima. Misalnya, dealam komunikasi yang bersifat memberitahukan, khotbah di mesjid atau gereja, ceramah yang tidak diikuti Tanya jawab. Dalam komunikasi dua arah, secara berganti-ganti si pengirim bisa menjadi penerima, dan penerima menjadi pangirim. Komunikasi dua arah ini terjadi dalam rapat, perundingan, diskusi dan sebagainya. 

Sebagai alat komunikasi, bahasa itu terdiri dari dua aspek yaitu:
a.      Aspek linguistic
Aspek nonlinguistik atau paralinguistic
Kedua aspek itu bekerjasama dalam membangun komunikasi bahasa. Aspek linguistik mencakup tataran fonologis, morfologis, dan sintaksis. Ketiga tataran ini mendukung terbentuknya yang akan disampaikan, yaitu semantik (yang di dalamnya terdapat makna, gagasan, idea tau konsep). Aspek paralinguistik mencakup:
Kualitas ujaran, yaitu pola ujaran seseorang seperti falsetto (suara tinggi), staccato (suara terputus-putus), dan sebagainya.
Unsur supra segmental, yaitu tekanan (stress), nada (pitch), dan intonasi.
 Jarak dan gerak-gerik tubuh, seperti gerakan tangan, anggukan kepala, dan sebagainya.
Rabaan, yakni yang berkenaan dengan indera perasa (pada kulit).v
Aspek linguistic dan paralinguistik berfungsi sebagai alat komunikasi, bersama-sama dengan konteks situasi membentuk atau membangun situasi tertentu dalam proses komunikasi.

b.      Pengaruh bahasa dalam Ragam kelas Sosial
Perkembangan bahasa yang searah dengan perkembangan kehidupan manusia di abad modern menunjukkan fenomena yang berubah-ubah antara lain dengan penggunaan bahasa sebagai alat pergaulan tertentu yang dikenal dengan variasi bahasa.

2.3 Menjelaskan hubungan bahasa dengan jenis kelamin.
Di dalam sosiolinguistik, bahasa dan jenis kelamin memiliki hubungan yang sangat erat. Secara khusus, pertanyaan yang telah menjamur sebagai bahan diskusi adalah, “mengapa cara berbicara wanita berbeda dengan laki-laki?” Dalam kata lain, kita tertuju pada beberapa factor yang menyebabkan wanita menggunakan bahasa standar lebih sering dibanding pria. Di dalam menjawab pertanyaan tersebut, kita harus menentukan bahasa sebagai bagian social, perbuatan yang berisi nilai, yang mencerminkan keruwetan jaringan social, politik, budaya, dan hubungan usia dalam sebuah masyarakat.
Beberapa ahli bahasa percaya bahwa wanita sadar di dalam masyarakat status mereka lebih rendah dari pada laki-laki, mereka menggunakan bentuk bahasa yang lebih standar dari pada laki-laki yang menghubungkan cara masyarakat memperlakukan wanita. Kesenjangan antara pria dan wanita memang terlihat sangat jelas. Dari segi fisik, wanita terlihat lebih gemuk namun tidak berotot dan wanita lebih lemah dibanding dengan pria. Begitu juga dengan suara, wanita mempunyai suara yang berbeda dengan pria. Di samping itu, factor sosiokultural juga mempengaruhi perbedaan dintara keduanya dalam berbahasa atau berbicara. Misalnya, di dalam bidang pekerjaan, wanita memiliki peran yang berbeda dalam suatu masyarakat.
Menurut Janet Holmes, women "are designated the role of modelling correct behaviour in the community." Dalam sudut pamdang ini, di dalam berbicara wanita diharapkan lebih sopan. Namun, ini tidak selalu benar. Kita semua tahu bahwa hubungan antara ibu dan anaknya atau suami dan istri biasanya tidak formal, diselingi dengan colloquial atau bentuk ujaran sehari-hari.
Selain itu, tidak dapat dibayangkan untuk seorang wanita menggunakan kata seru/lontaran yang “keras”, seperti damn atau shit; wanita hanya dapat bilang oh dear atau fudge. Robin Lakoff percaya bahwa syntax yang lebih banyak digunakan oleh wanita adalah question tag, seperti You'd never do that, would you?
Dengan menggunakan bahasa yang sopan atau standar, wanita mencoba melindungai wajahnya, (keinginan atau kebutuhan mereka). Dalam kata lain, wanita menuntut status social yang lebih.
Selain itu ada beberapa penyebab terjadinya perbedaan berbahasa antara pria dan wanita, diantaranya dalam fonologi, morfologi, dan diksi. Dalam segi fonologi, antara pria dan wanita memiliki beberapa perbedaan, seperti halnya di Amerika wanita menggunakan palatal velar tidak beraspirasi, seperti kata kjatsa (diucapkan oleh wanita) dan djatsa (diucapkan oleh pria). Di scotlandia, kebanyakan wanita menggunakan konsonan /t/ pada kata got, not, water, dan sebagainya. Sedangkan prianya lebih sering mengubah konsonan /t/ dengan konsonan glottal tak beraspirasi. Dalam bidang morfologi, Lakoff menyatakan bahwa wanita sering menggunakan kata-kata untuk warna, seperti mauve, beige, aquamarine, dan lavender yang mana kata-kata ini jarang digunakan oleh pria. Selain itu, wanita juga sering menggunakan kata sifat, seperti adorable, charming, divine, lovely, dan sweet.
Dilihat dari diksi, wanita memiliki kosa kata sendiri untuk menunjukkan efek tertentu terhadap mereka. Kata dan ungkapan seperti so good, adorable, darling, dan fantastic. Di samping itu bhasa inggris membuat perbedaan kata tertentu berdasarkan jenis kelamin seperti actor-actress, waiter-waitress, mr.-mrs. Pasangan kata lain yang menunjukkan perbedaan yang serupa adalah boy-girl, man-woman, bachelor-spinter dan lain sebagainya. Hal ini terjadi karena adanya kesadaran dari sebagian komunitas masyarakat yang tidak kentara bahwa perbedaan ini dibuat, dalam pilihan kosa kata, digunakan untuk menggambarkan masing-masing peranan yang dipegang antara laki-laki dan perempuan. Dalam hal panggilan wanita juga berbeda dengan pria. Biasanya dalam menggunakan panggilan untuk mereka (wanita) sering digunakan kata-kata seperti dear, miss, lady atau bahkan babe (baby). Dalam bersosialisasi, biasanya laki-laki lebih sering berbicara seputar olah raga, bisnis, politik, materi formal, atau pajak. Sedangkan topic yang dibicarakan oleh wanita lebih menjurus kepada masalah kehidupan social, buku, makanan, minuman, dan gaya hidup.


2.4 Menjelaskan hubungan bahasa dengan usia.
            Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan bahasa tidak semata-mata tidak didasarkan atas prinsip well-formed dalam sintaksis, melainkan atas dasar kepentingan agar komunikasi tetap dapat berjalan. Lebih tepatnya, dengan mengikuti kecenderungan dalam etnometologi, bahasa digunakan oleh masyarakat tutur sebagai cara para peserta interaksi saling memahami apa yang mereka ujarkan. Atas dasar ini, pertama, dapat di pahami dan memang sering kita temukan, bahwa komunikasi tetap dapat berjalan meskipun menggunakan bahasa yang tidak apik secara sintaksis; dan kedua, demi kebutuhan para anggota masyarakat tutur untuk mengorganisasi dan memahami kegiatan mereka, selain tata bahasa, makna juga merupakan hal yang tidak dapat diabaikan dalam analisis bahasa. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa perbedaan utama antara sintaksis dan pragmatik, sekaligus menyatakan pentingnya study pragmatik dalam lingustik, terletak pada makna ujaran dan pada pengguna bahasa. Salah satunya adalah bahasa berpengaruh pada tingkat usia. Yaitu bagaimana kita menggunakan bahasa pada orang yang lebih tua, dengan sesama/sebaya, atau bahkan dengan anak-anak.
2.5 Menjelaskan hubungan bahasa dengan seni dan religi.
Bahasa, seni dan religi adalah tiga hal yang tidak terpisahkan. Dalam bahasa ada kesenian dan religi. Sebaliknya dalam seni dan agama terdapat bahasa. Ketiganya merupakan unsur kebudayaan yang universal. Bahasa, seni dan religi merupakan 3 dari 7 unsur kebudayaan universal. Bahasa menempati urutan pertama, religi urutan keenam dan kesenian urutan ke ketujuh. Menurut Robert Sibarani (2002), bahasa ditempatkan urutan pertama karena manusia sebagai makhluk biologis harus berinteraksi dan berkomunikasi dalam kelompok sosial.
Untuk mengadakan interaksi dan komunikasi, manusia memerlukan bahasa. Bahasa merupakan kebudayaan yang pertama dimiliki setiap manusia dan bahasa itu dapat berkembang karena akal atau sistem pengetahuan manusia. Dalam proses kehidupannya, manusia kemudian menyadari dirinya sebagai makhluk yang lemah dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya, maka lahirlah keyakinan didalam diri manusia bahwa ada kekuatan lain yang maha dahsyat di luar dirinya. Timbul dan berkembanglah religi. Untuk mengiringi kepercayaan atau sistem religi itu supaya lebih bersemangat dan lebih semarak maka diciptakanlah seni. Berdasarkan uraian di atas, hubungan bahasa, seni dan agama/religi/kepercayaan adalah kesenian menyempurnakan dan menyemarakkan sistem religi dengan menggunakan media bahasa.
Bahasa, seni dan religi merupakan unsur-unsur kebudayaan universal. Bahasa menempati urutan pertama. Bahasa adalah induk dari segala kebudayaan. Atas dasar itu, hubungan bahasa, seni dan religi dapat juga diperoleh dengan memahami hubungan bahasa dengan kebudayaan. Menurut Robert Sibarani (2002), fungsi bahasa dalam kebudayaan dapat diperinci:
1. Bahasa sebaga sarana pengembangan kebudayaan.
2. bahasa sebagai penerus kebudayaan.
3. Bahasa sebagai inventaris ciri-ciri kebudayaan.

Bahasa sebagai sarana pengembangan kebudayaan mengandung makna bahwa bahasa berperan sebagai alat atau sarana kebudayaan, untuk mengembangkan kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan Indonesia dikembangkan melalui bahasa Indonesia. Khazanah kebudayaan Indonesia dijelaskan dan disebarkan melalui bahasa Indonesia, sebab penerimaan kebudayaan hanya bisa terwujud apabila kebudayaan itu dimengerti, dipahami dan dijunjung masyarakat itu sendiri. Sarana untuk memahami kebudayaan adalah bahasa. Atas dasar itu, hubungan bahasa dengan kesenian dan religi adalah bahasa sebagai sarana pengembangan kesenian dan religi. Kesenian dan religi yang ada di Indonesia dikembangkan melalu bahasa Indonesia. Kesenian dan religi yang tumbuh dan berkembang di Indonesia adalah kesenian dan religi yang dapat dimengerti dan dipahami oleh masyarakat Indonesia. Sarana untuk memahami kesenian dan religi adalah bahasa Indonesia.
Bahasa sebagai jalur penerus kebudayaan mengandung makna bahwa bahasa berperan sebagai sarana pewarisan kebudayaan dari generasi ke generasi. Menurut Robert Sibarani (2002), kebudayaan nenek moyang yang meliputi pola hidup, tingkah laku, adat istiadat, cara berpakaian, dan sebagainya dapat kita warisi dan wariskan kepada anak cucu kita melalui bahasa. Atas dasar itu, hubungan bahasa dengan kesenian dan religi adalah bahasa berperan sebagai sarana pewarisan kebudayaan dari generasi ke generasi. Kesenian dan religi nenek moyang kita yang sudah ada beratus-ratus tahun lalu masih bisa dipelajari oleh kita sekarang hanya karena bantuan bahasa. Kesenian dan sistem religi yang tertulis dalam naskah-naskah lama, yang mungkin ditulis beratus-ratus tahun lalu bisa kita nikmati sekarang hanya karena ditulis dalam bahasa.
Bahasa sebagai inventaris ciri-ciri kebudayaan mengandung makna bahwa bahasa berperan dalam penamaan atau pengistilahan suatu unsur kebudayaan baru sehingga dapat disampaikan dan dimengerti. Menurut Robert Sibarani (2002), setiap unsur kebudayaan, mulai dari unsur terkecil sampai unsur terbesar diberi nama atau istilah. Dalam proses pembelajaran dan pengajaran kebudayaan, nama atau istilah pada unsur kebudayaan sekaligus berfungsi sebagai inventarisasi kebudayaan tersebut, yang berguna untuk pengembangan selanjutnya. Atas dasar itu, hubungan bahasa dengan kesenian dan sistem religi adalah bahasa berperan dalam penamaan atau pengistilahan unsur-unsur kesenian dan religi baru sehingga dapat disampaikan dan dimengerti oleh yang menerimanya. Setiap unsur kesenian dan religi, dari unit yang terkecil sampai yang terbesar diberi nama atau istilah. Dalam proses pembelajaran dan pengajaran kesenian dan religi. Nama atau istilah itu digunakan untuk menginventarisasi kesenian dan religi tersebut untuk pengembangan selanjutnya.
Bagaimanakah hubungan religi dengan kesenian? Menurut William A. Haviland (1999), “kesenian harus dihubungkan dengan, tetapi juga harus dibedakan dari agama. Garis pemisah di antara keduanya tidak tegas.” Kesenian dan religi sangat berhubungan, hubungan yang erat itu melahirkan kesenian religi yang biasa digunakan untuk mengiringi upacara-upacara keagamaan. Dengan diringi berbagai jenis sastra, nyanyian dan musik, upacara keagamaan berlangsung dengan semarak, khidmat dan turut membantu mewujudkan situasi dan keadaan yang membuat umatnya terasa semakin lebih dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa. Kesenian adalah sebagai sarana penyaluran bakti dan pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

2.6 Menjelaskan hubungan bahasa dengan budaya/geografi
Ada berbagai toeri mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan. Ada yang mengatakan bahasa itu merupakanbagian dari kebudayaan, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun mempunyai hubungan yang sangat erat, sehingga tidak dapat dipisahkan. Ada yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi oleh kebudayaan,sehingga segala hal yang ada dalam kebudayaan akan tercermin di dalam bahasa.begitu pula Sebaliknya, ada juga yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan dan cara berpikir manusia atau masyarakat penuturnya.
Menurut Koentjaraningrat sebagaimana dikutip Abdul Chaer dan Leonie dalam bukunya Sosiolinguistik bahwa bahasa bagian dari kebudayaan. Jadi, hubunganantara bahasa dan kebudayaanmerupakan hubungan yang subordinatif, dimana bahasa berada dibawah lingkup kebudayaan.Namun pendapat lain ada yang mengatakan bahwa bahasadan kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang kedudukannya sama tinggi. Masinambouw menyebutkan bahwabahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem yang melekat pada manusia.Kalau kebudayaan itu adalah sistem yang mengatur interaksi manusia didalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai saranaberlangsungnya interaksi itu. Dengan demikian hubungan bahasa dan kebudayaan seperti anak kembar siam,dua buah fenomena sangat erat sekalibagaikan dua sisi mata uang, sisi yang satu sebagai sistem kebahasaan dan sisi yang lain sebagai sistem kebudayaan. Komponen-komponen lingkungan hidup tersebut terdiri dari dua jenis, yaitu komponen biotik dan komponen abiotik.Komponen biotik adalah makhluk hidup yang meliputi hewan, tumbuhan danmanusia. Komponen abiotik adalah benda-benda tak hidup (mati) antara lain air,tanah, batu, udara dan cahaya matahari.Semua komponen yang berada di dalamlingkungan hidup merupakan satukesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan membentuk sistem kehidupan yangdisebut ekosistem.Antara komunitas dan lingkungannya selalu terjadi interaksi. Interaksi ini menciptakan kesatuan ekologi yangdisebut ekosistem.
Ekosistem merupakan suatu kesatuan fungsional antara komponen biotik dan komponen abiotik.Ekosistem merupakan suatu interaksi yang komplek dan memiliki penyusunan yang beragam.Efek langsung perubahan iklim terhadap kesehatan manusia tidaklah mudahdirumuskan.Definisi perubahan iklim dan efek langsung bervariasi. Iklim mencakup perubahan suhu permukaan bumi, yang dipengaruhi letak geografis, ketinggian, dan lingkungan biota suatu daerah.Kunci perubahan iklim adalah perubahan suhu di suatu tempat di muka bumi.Perubahan suhu tersebut mempengaruhi angin, hujan, salju,tumbuh‐tumbuhan, dan setelah itu hewan,termasuk organisme mikro. Jika kita analisis perubahan suhu permukaan salah satu bagian bumi, sebagai penyebab perubahan lainnya, maka efek yang paling langsung terhadap kesehatan masnusia adalah efek ekstrim dingin dan ekstrim panas,relatif terhadap rentang suhu yang toleransi manusia, tanpa manipulasi diri atau lingkungan.Ketika gelombang panas melanda Eropa,banyak kematian penduduk lanjut usia tidak terhindarkan. Seperti dikemukakan oleh Confalonieri (2007), gelombang panas yang menyerang Perancis di bulan Juli dan Agustus 2003telah menewaskan lebih dari 14.800 orang.Kematian tersebut merupakan dampak langsung dariiklim ekstrim panas.sesungguhnya efek iklim terhadap kesehatan secara tidak langsung sudahdikenal sejak lama. Kita mengenal siklusdemam berdarah yang terkait dengan musim hujan. Begitu juga dengan serangan influenza, malaria, diare, tifus dan sebagainya. Penyakit-penyakit tersebut berhubungan dengan perubahan iklim melalui perubahan kehidupan vektor atau bahan bahan transmisi penyebab penyakit.
Geografi agama dikembangkan olehbeberapa tokoh antara lain Jongeneel,P. Deffontaines, dan D.E. Sopher.Geografi agama bukan hanya menelaah pengaruh ruang atas agama dan gejala keagamaan namun juga sebaliknya yakni pengaruh agama dan gejala keagamaan atas keruangan.Relasi antara agama dan tata ruang sebenarnya sudah diketahui sejak zaman kuno, salah satu tokohnya yaitu Hippocrates namun baru mulai populerdi zaman filsuf pencerahan salah satunya oleh Montesquieu di Prancis.Montesquieu mengungkapkan bahwa agama monotheisme seprti Yahudi,Kristen, dan Islam lahir di tepi-tepi gurun pasir dengan bentang alam yang monoton diungkapkanpula bahwa hampir semua agama besar muncul diwilayah permukaan bumi yang diapit25 dan 35 derajat Lintang Utara.Deffontaines membicarakan geografi agama dalam 5 pokok:
1.   Agama dan geografi sebagai tempat kediaman baik bagi orang yang masih hidup maupun bagi yang sudah matiserta bagi dewa-dewa.
2.   Agama dan penduduk; pengaruh agama atas daerah dan sejarah penduduk; agama dan macam-macampenduduk; agama dan kota-kota; agama dan demografi.
3.   Agama dan eksploitasi; agama dan pertanian; agama dan peternakan; agama dan industri; agama danpotensi geografis daerah.
4.   Agama dan lalu lintas; pengungsianpara penganut agama; kegiatan ziarah; perdagangan dan pertukaran barang atas latar belakang agama; jalan sebagai alat transportasi.
5.   Agama dan jenis kehidupan; kalender agama; tata kerja pemimpin agama; pekerjaan sehari-hari kebiasaan.
 
 Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu:
    1. Alat-alat teknologi.
    2. Sistem ekonomi.
    3. Keluarga.
    4. Kekuasaan politik-Politik.
Bronislaw Malinowski mengatakanada 4 unsur pokok yang meliputi:
    1. Sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya.
    2. Organisasi ekonomi.
    3. Alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembagapendidikan utama).
    4. Organisasi kekuatan (politik).

Kebudayaan material
Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya.Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakarlangit, dan mesin cuci.

Kebudayaannonmaterial
Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.

2.7 Menjelaskan hubungan bahasa dengan pranata sosial.
Kehidupan bermasyarakat selalu menimbulkan hubungan antarmanusia dalam suatu lingkungan kehidupan tertentu. Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan manusia lain untuk berinteraksi dan saling memenuhi kebutuhan hidupnya yang tidak dapat dipenuhinya sendiri.
 Pranata sosial berasal dari bahasa asing social institutions, itulah sebabnya ada beberapa ahli sosiologi yang mengartikannya sebagai lembaga kemasyarakatan. Menurut Horton dan Hunt (1987), yang dimaksud dengan pranata sosial adalah suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dianggap penting. Dengan kata lain, pranata sosial adalah sistem hubungan sosial yang terorganisir yang yang mengejawantahkan nilai-nilai serta prosedur umum yang mengatur dan memenuhi kegiatan pokok warga masyarakat. 

Tiga kata kunci di dalam pembahasan mengenai pranata sosial adalah:
1. Nilai dan Norma;
2. Pola perilaku yang dibakukan atau yang disebut prosedur umum, dan
3. Sistem hubungan, yakni jaringan peran serta status yang menjadi wahana untuk melaksanakan perilaku sesuai dengan prosedur umum yang berlaku.
 Menurut Koenjaraningrat (1978) yang dimaksud dengan pranata-pranata sosial adalah sistem-sistem yang menjadi wahana yang memungkinkan warga masyarakatnya untuk berinteraksi menurut pola-pola resmi atau suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat pada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan mereka.
Pranata sosial adalah sesuatu yang bersifat konsepsional,artinya bahwa eksistensinya hanya dapat ditangkap dan dipahami melalui sarana pikir, dan hanya dapat dibayangkan dalam imajinasi sebagai suatu konsep atau konstruksi pikir.
 Pranata sosial terdapat dalam setiap masyarakat, baik masyarakat sederhana maupun masyarakat kompleks atau masyarakat modern, karena pranata sosial merupakan tuntutan mutlak adanya suatu masyarakat atau komunitas. Sebuah komunitas dimana manusia tinggal bersama membutuhkan pranata demi tujuan keteraturan. Semakin kompleks kehidupan masyarakat semakin kompleks pula pranata yang dibutuhkan atau yang dihasilkan guna pemenuhan kebutuhan pokoknya dalam kehidupan bersama. Pranata berjalan seiring dengan semakin majunya masyarakat.
Hal-hal di atas telah membuktikan bahwa bahasa sangat berperan dalam kegiatan manusia. Secara umum, tujuan utama diciptakannya pranata sosial, selain untuk mengatur agar kebutuhan hidup manusia dapat terpenuhi secara memadai, juga sekaligus untuk mengatur agar kehidupan sosial warga masyarakat bisa berjalan dengan tertib dan lancer sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku di masyarakat itu sendiri.


Ragam Bahasa


Bahasa adalah salah satu alat komunikasi. Melalui bahasa manusia dapat saling berhubungan atau berkomunikasi, saling berbagi pengalaman, saling belajar dari yang lain, dan meningkatkan kemampuan intelektual. Bahasa Indonesia memang banyak ragamnya. Hal Ini karena bahasa Indonesia sangat luas pemakaiannya dan bermacam-macam ragam penuturnya. Oleh karena itu, penutur harus mampu memilih ragam bahasa yang sesuai dengan dengan keperluannya, apapun latar belakangnya.

Ragam Bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, orang yang dibicarakan, serta menurut medium pembicara (Bachman, 1990). Seiring dengan perkembangan zaman yang sekarang ini banyak masyarakat yang mengalami perubahan. Bahasa pun juga mengalami perubahan. Perubahan itu berupa variasi-variasi bahasa yang dipakai sesuai keperluannya. Agar banyaknya variasi tidak mengurangi fungsi bahasa sebagai alat komunikasi yang efisien, dalam bahasa timbul mekanisme untuk memilih variasi tertentu yang cocok untuk keperluan tertentu yang disebut ragam standar (Subarianto, 2000)


Macam-macam ragam Bahasa Indonesia dapat dibagi menjadi 3 jenis yaitu

1.       berdasarkan media
2.       berdasarkan cara pandang penutur
3.       berdasarkan topik pembicaraan.

1. Ragam Bahasa Indonesia berdasarkan media

Ditinjau dari media atau sarana yang digunakan untuk menghasilkan bahasa, ragam bahasa terdiri
·         Ragam bahasa lisan
·         Ragam bahasa tulis
Bahasa yang dihasilkan melalui alat ucap (organ of speech) dengan dinamakan ragam bahasa lisan, sedangkan bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya, dinamakan ragam bahasa tulis. Jadi dalam ragam bahasa lisan, kita berurusan dengan lafal, dalam ragam bahasa tulis, kita berurusan dengan tata cara penulisan (ejaan).

Ragam Lisan
Ragam bahasa baku lisan didukung oleh situasi pemakaian sehingga kemungkinan besar terjadi pelesapan kalimat. Namun, hal itu tidak mengurangi ciri kebakuannya. Walaupun demikian, ketepatan dalam pilihan kata dan bentuk kata serta kelengkapan unsur-unsur di dalam kelengkapan unsur-unsur di dalam struktur kalimat tidak menjadi ciri kebakuan dalam ragam baku lisan karena situasi dan kondisi pembicaraan menjadi pendukung di dalam memahami makna gagasan yang disampaikan secara lisan.

Pembicaraan lisan dalam situasi formal berbeda tuntutan kaidah kebakuannya dengan pembicaraan lisan dalam situasi tidak formal atau santai. Jika ragam bahasa lisan dituliskan, ragam bahasa itu tidak dapat disebut sebagai ragam tulis, tetapi tetap disebut sebagai ragam lisan, hanya saja diwujudkan dalam bentuk tulis. Oleh karena itu, bahasa yang dilihat dari ciri-cirinya tidak menunjukkan ciri-ciri ragam tulis, walaupun direalisasikan dalam bentuk tulis, ragam bahasa serupa itu tidak dapat dikatakan sebagai ragam tulis. Kedua ragam itu masing-masing, ragam tulis dan ragam lisan memiliki ciri kebakuan yang berbeda.

Ciri-ciri ragam lisan:
a.Memerlukan orang kedua/teman bicara;
b.Tergantung situasi, kondisi, ruang & waktu;
c.Tidak harus memperhatikan unsur gramatikal, hanya perlu intonasi serta bahasa tubuh.
d.Berlangsung cepat;
e.Sering dapat berlangsung tanpa alat bantu;
f.Kesalahan dapat langsung dikoreksi;
g.Dapat dibantu dengan gerak tubuh dan mimik wajah serta intonasi
Contoh ragam lisan adalah ‘Sudah saya baca buku itu.’

Ragam Tulis
Dalam penggunaan ragam bahasa baku tulis makna kalimat yang diungkapkannya tidak ditunjang oleh situasi pemakaian, sedangkan ragam bahasa baku lisan makna kalimat yang diungkapkannya ditunjang oleh situasi pemakaian sehingga kemungkinan besar terjadi pelesapan unsur kalimat. Oleh karena itu, dalam penggunaan ragam bahasa baku tulis diperlukan kecermatan dan ketepatan di dalam pemilihan kata, penerapan kaidah ejaan, struktur bentuk kata dan struktur kalimat, serta kelengkapan unsur-unsur bahasa di dalam struktur kalimat.

Ciri-ciri ragam tulis :
1.Tidak memerlukan orang kedua/teman bicara;
2.Tidak tergantung kondisi, situasi & ruang serta waktu;
3.Harus memperhatikan unsur gramatikal;
4.Berlangsung lambat;
5.Selalu memakai alat bantu;
6.Kesalahan tidak dapat langsung dikoreksi;
7.Tidak dapat dibantu dengan gerak tubuh dan mimik muka, hanya terbantu dengan tanda baca.

Contoh ragam tulis adalah ’Saya sudah membaca buku itu.’
2.Ragam Bahasa Indonesia berdasarkan cara pandang penutur

Berdasarkan cara pandang penutur, ragam bahasa Indonesia terdiri dari beberapa ragam diantara nya adalah :
·         Ragam dialek
Contoh : ‘Gue udah baca itu buku.’

·         Ragam terpelajar
Contoh :  ‘Saya sudah membaca buku itu.’
·         Ragam resmi
Contoh : ‘Saya sudah membaca buku itu.’
·         Ragam tak resmi
Contoh : ‘Saya sudah baca buku itu.’


3.Ragam Bahasa Indonesia berdasarkan topik pembicaraan
Berdasarkan topik pembicaraan, ragam bahasa terdiri dari beberapa ragam diantara nya adalah :

1.       Ragam bahasa ilmiah
2.       Ragam hukum
3.       Ragam bisnis
4.       Ragam agama
5.       Ragam sosial
6.       Ragam kedokteran
7.       Ragam sastra


Contoh ragam bahasa berdasarkan topik pembicaraan:
Dia dihukum karena melakukan tindak pidana. (ragam hukum)
Setiap pembelian di atas nilai tertentu akan diberikan diskon.(ragam bisnis)
Cerita itu menggunakan unsur flashback. (ragam sastra)
Anak itu menderita penyakit kuorsior. (ragam kedokteran)
Penderita autis perlu mendapatkan bimbingan yang intensif. (ragam psikologi)

Ragam bahasa baku dapat berupa: ragam bahasa baku tulis dan ragam bahasa baku lisan.

Beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya keragaman bahasa, diantaranya :
• Faktor Budaya atau letak Geografis
• Faktor Ilmu pengetahuan
• Faktor Sejarah

Kesimpulan
Ragam Bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, orang yang dibicarakan, serta menurut media pembicara.

Ragam bahasa terbagi dua jenis yaitu bahasa lisan dan bahasa baku tulis.
Pada ragam bahasa baku tulis kita harus menguasai penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dan menguasai EYD, sedangkan untuk ragam bahasa lisan kita harus mampu mengucapkan dan memakai bahasa Indonesia dengan baik serta bertutur kata sopan.



Variasi Bahasa 
 
Variasi bahasa disebabkan oleh adanya kegiatan interaksi sosial yang dilakukan oleh masyarakat atau kelompok yang sangat beragam dan dikarenakan oleh para penuturnya yang tidak homogen. Dalam hal variasi bahasa ini ada dua pandangan. Pertama, variasi itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu. Jadi, variasi bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Kedua, variasi bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam.
Dalam pandangan sosiolinguistik, bahasa tidak saja dipandang sebagai gejala individual, tetapi merupakan gejala sosial. Sebagai gejala sosial, bahasa dan pemakaiannya tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor linguistik, tetapi juga oleh faktor-faktor nonlinguistik. Faktor-faktor nonlinguistik yang mempengaruhi pemakaian bahasa seperti di bawah ini.
  1. Faktor-faktor sosial: status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis kelamin, dan sebagainya.
  2. Faktor-faktor situasional: siapa berbicara dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, di mana, dan mengenai masalah apa.
Menurut Chaer (2004:62) variasi bahasa adalah keragaman bahasa yang disebabkan oleh adanya kegiatan interaksi sosial yang dilakukan oleh masyarakat atau kelompok yang sangat beragam dan dikarenakan oleh para penuturnya yang tidak homogen.
Menurut Allan Bell (dalam Coupland dan Adam ,1997:240) variasi bahasa adalah salah satu aspek yang paling menarik dalam sosiolinguistik. Prinsip dasar dari variasi bahasa ini adalah penutur tidak selalu berbicara dalam cara yang sama untuk semua peristiwa atau kejadian. Ini berarti penutur memiliki alternatif atau piilihan berbicara dengan cara yang berbeda dalam situasi yang berbeda. Cara berbicara yang berbeda ini dapat menimbulkan maksa sosial yang berbeda pula.
Jadi, berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa variasi bahasa adalah sejenis ragam bahasa  yang pemakaiannya disesuaikan dengan fungsi dan situasinya, tanpa mengabaikan kaidah-kaidah pokok yang berlaku dalam bahasa yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan, variasi bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa.
B.  Macam-Macam Variasi Bahasa
Sebagai sebuah langue sebuah bahasa mempunyai sistem dan subsistem yang dipahami sama oleh semua penutur bahasa itu. Namun, karena penutur bahasa merupakan kumpulan manusia yang tidak homogen, bahasa tersebut menjadi bervariasi. Terjadinya keberagaman bahasa ini bukan hanya disebabkan oleh para penuturnya yang tidak homogen, tetapi juga karena interaksi sosial yang beragam. Setiap kegiatan memerlukan atau menyebabkan terjadinya keragaman bahasa iu. Keragaman ini akan semakin bertambah kalau bahasa tersebut digunakan oleh penutur yang sangat banyak, dan dalam wilayah yang sangat luas. Misalnya bahasa Inggris yang digunakan hampir di seluruh dunia tentu ragamnya juga bervariasi.
Menurut Martin Joos (dalam Machali, 2009:52) gaya bahasa adalah ragam bahasa yang disebabkan adanya perbedaan situasi berbahasa atau perbedaan dalam hubungan antara pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca). Berdasarkan tingkat keformalannya, Martin Joss (melalui Abdul Chaer, 2004:70) membedakan variasi bahasa dalam lima bentuk, yaitu ragam beku (frozen), ragam resmi (formal), ragam usaha (konsultatif), ragam santai (casual), dan ragam akrab (intimate).
Secara lebih detail variasi ragam bahasa tersebut dibahas di bawah ini.
  1. a.      Ragam Beku (Frozen)
Ragam ini merupakan variasi bahasa yang paling formal dan digunakan dalam situasi-situasi khidmat dan upacara-upacara resmi seperti upacara kenegaraan, khutbah di masjid, tata cara pengambilan sumpah, kitab, undang-undang, akta notaris, dan surat keputusan. Variasi ini disebut ragam beku karena pola dan kaidahnya sudah ditetapkan secara mantap dan tidak boleh diubah. Dalam bentuk tertulis ragam ini dapat kita temui pada dokumen-dokumen sejarah, undang-undang dasar, akta notaris, naskah perjanjian jual beli dan surat sewa menyewa.
Ragam beku (frozen) ialah ragam bahasa yang paling formal dan digunakan dalam situasi-situasi dan upacara-upacara khidmat atau resmi, misalnya dalam upacara kenegaraan, tata cara pengambilan sumpah, dan sebagainya. Contoh dalam bentuk tertulisnya seperti akta notaris, surat-surat keputusan, dokumen-dokumen bersejarah atau berharga seperti undang-undang dasar, ijazah, naskah-naskah perjanjian jual beli, dan sebagainya. Disebut ragam beku karena pola dan kaidahnya sudah ditetapkan secara mantap, dan tidak boleh diubah. Bahkan, tekanan pelafalannya pun tidak boleh berubah sama sekali. Bahasa yang digunakan dalam ragam ini berciri super formal. Oleh karena itu, seseorang tidak boleh begitu saja mengubah, karena memang sudah ditetapkan sesuai ketentuan yang berlaku. Selain itu, bahasa beku sudah lazim digunakan dan sudah terpatri lama sehingga sulit sekali diubah.
Bentuk ragam beku ini memiliki ciri kalimatnya panjang-panjang, tidak mudah dipotong atau dipenggal, dan sulit sekali dikenai ketentuan tata tulis dan ejaan standar. Bentuk ragam beku yang seperti ini menuntut penutur dan pendengar untuk serius dan memperhatikan apa yang ditulis atau dibicarakan.
  1. b.      Ragam Resmi (Formal)
Variasi ini biasanya digunakan dalam pidato-pidato kenegaraan, rapat-rapat dinas, surat-menyurat dinas, ceramah keagamaan, buku-buku pelajaran, makalah, karya ilmiah, dan sebagainya. Pola dan kaidah bahasa resmi sudah ditetapkan secara standar dan mantap. Contoh variasi resmi dalam pembicaraan misalnya dalam acara peminangan, kuliah, pembicaraan seseorang dengan dekan di kantornya. Pembicaraan ketika seorang mahasiswa menghadap dosen atau pejabat struktural tertentu di kampus juga merupakan contoh ragam ini. Karakteristik kalimat dalam ragam ini yaitu lebih lengkap dan kompleks, menggunakan pola tata bahasa yang tepat dan juga kosa kata standar atau baku.
  1. c.       Ragam Usaha (Konsultatif)
Variasi ini lazim digunakan dalam pembicaraan biasa di sekolah, rapat-rapat, atau pembicaraan yang berorientasi pada hasil atau produksi. Jadi, dapat dikatakan bahwa ragam ini merupakan ragam yang paling operasional. Ragam ini tingkatannya berada antara ragam formal dan ragam santai.
  1. d.      Ragam Santai (Kasual)
Ragam ini merupakan variasi yang biasa digunakan dalam situasi yang tidak resmi seperti berbincang-bincang dengan keluarga ketika berlibur, berolah raga, berekreasi, dan sebagainya. Pada ragam ini banyak digunakan bentuk alegro atau ujaran yang dipendekkan. Unsur kata-kata pembentuknya baik secara morfologis maupun sintaksis banyak diwarnai bahasa daerah.
  1. e.       Ragam Akrab (Intim)
Variasi bahasa ini digunakan oleh penutur dan petutur yang memiliki hubungan sangat akrab dan dekat seperti dengan anggota keluarga atau sahabat karib. Ragam ini ditandai dengan penggunaann bahasa yang tidak lengkap, pendek-pendek, dan artikulasi tidak jelas. Pembicaraan ini terjadi antarpartisipan yang sudah saling mengerti dan memiliki pengetahuan yang sama.
Dalam menganalisis ragam bahasa berdasarkan tingkat keformalan ini sangat tergantung dengan situasional ujaran tersebut. Situasional yang dimaksud ini berkaitan dengan siapa berbicara, bahasa apa yang digunakan, kepada siapa, kapan, di mana, dan mengenai masalah apa. Jadi, sangat mungkin dalam satu situasi terjadi pembicaraan dengan ragam yang berbeda seperti di bawah ini.
Feizal dan Zakky adalah dua sahabat karib. Di pojok kelas seusai kuliah keduanya tampak berbincang-bincang.
1 Feizal                        : Jadi, Cin? (jadi ikut futsal tidak?)
2 Zakky                        : Yoi, janji jadi koor (Jadi, karena saya sudah janji mau menjadi koordinator)
3 Feizal                        : Jamnya? (Jam berapa futsalnya?)
4 Zakky                       : Tujuh malem, Cin (Jam tujuh malam)
Tiba-tiba datang dosen ke dalam kelas.
5 Feisal                          : Selamat siang, Pak. Ada yang ketinggalan?
6 Dosen                        :Tolong teman-teman yang lain diberi tahu makalahnya harus dikumpulkan paling lambat besok ya.
7 Feizal                        : Baik, Pak. Nanti saya sampaikan kepada teman-teman   yang lain.
8 Dosen                       : Oke, terima kasih.
9 Feizal dan Zakky     : Terima kasih kembali, Pak.
Setelah dosen pergi Abdul pun masuk ke dalam kelas.
10 Abdul                     : Saya kayaknya gak jadi ikut ntar. (mungkin nanti tidak bisa ikut futsal.)
11 Zakky                     : Lha ngopo? (mengapa tidak jadi ikut futsal?)
12 Abdul                     : Ada sodara datang dari Lombok. (Ada saudara saya datang dari Lombok)
13 Feizal                      : Ya lain kali aja. (Ya sudah lain kali ikut futsal ya)
14 Abdul                     : Siap.
Berdasarkan contoh petikan percakapan di atas, dapat kita lihat terjadi perubahan ragam bahasa yang digunakan meskipun percakapan tersebut terjadi dalam satu lokasi dan satu waktu. Percakapan nomor 1-4 merupakan contoh ragam bahasa akrab/intim antara dua sahabat karib. Keakraban ini dapat kita ketahui dari bahasa yang digunakan seperti sapaan Cin dan penggunaan bahasa pendek-pendek yang diketahui kedua penutur. Percakapan nomor 5-9 merupakan contoh percakapan ragam usaha yang dilakukan oleh mahasiswa dan dosen. Keduanya menggunakan bahasa yang lebih formal daripada ragam santai atau intim. Percakapan nomor 10-14 merupakan contoh ragam bahasa santai, yaitu percakapan antara teman sekelas tetapi hubungan keduanya tidak sedekat seperti pada ragam intim.