Sejarah dan lingkup sosiolinguistik
Ilmu sosiolinguistik, mulanya, muncul sebagai rasa
tidak puas para pakar pada linguistik struktural. Mengapa demikian? Menurut
mereka, linguistik struktural melakukan kajian bahasa dalam aspek struktur
semata. Hal itu tentu tidak mengacuhkan aspek sosial dalam kajian
analisa.
Adapun rancangan sosiolinguistik ini sesungguhnya telah muncul ketika adanya sebuah hasil peneliatian berupa laporan oleh Labov. Judul dari penelitian tersebut adalah Social Stratification of English in New York City. Seorang pengemuka linguistik dari aliran London, Firth mengemukakan bahwa tuturan memiliki aspek sosial selaku media/alat berkomunikasi. Ia juga menambahkan, aspek-aspek tersebut bisa mengelompokkan seseorang ke dalam suatu kaum/kelas/strata sosial. Dengan demikian, ilmu mengenai tuturan ini sudah seharusnya mengindahkan para penutur dan struktur itu sendiri, sehingga pertimbangan mengenai segala hal yang merupakan kemungkinan mengapa struktur yang ini atau yang itu dipakai oleh seseorang, ada penjelasan di dalamnya.
Hymes berpendapat bahwa istilah dari sosiolinguistik ini telah diperkenalkan sekitar tahun 1960. Tahun tersebut memiliki sebuh tanda, yakni lahirnya buku karya Hymes, Language in Culture and Society, tahun 1966. Tokoh lainnya, Fishman, kemudian meluncurkan suatu kumpulan tulisan dengan judul Reading in The Sociology of Language pada tahun 1968. Masih pada tahun yang sama, Fishman berkolaborasi dengan Das Gupta dan Ferguson untuk menyajikan dan mengekspos sebuh kumpulan dari makalah. Kumpulan tulisan itu berjudul Language Problems of Developing Nations.
Ruang
Lingkup Sosiolingusitik
Sosiolinguitik
meliputi tiga hal, yakni bahasa, masyarakat, dan hubungan antara bahasa dan
masyarakat. Cakupan sosiolinguistik akan semakin jelas jika kita lihat paparan
yang membandigkan sosiolinguistik dengan dengan bidang studi lain yang terkait
sebagaimana dijelaskan di bawah ini:
1.
Sosiolinguistik dengan Sosiologi
Sosiologi
mempelajari anatara lain struktur sosial, organisasi kemasyarakatan, hubungan
antar anggota masyarakat, tingkah laku masyarakat. Secara konkret, sosiologi
mempelajari kelompok-kelompok dalam masyarakat. Di dalam masyarakat ada semacam
lapisan, seperti lapisan penguasa dan lapisan rakyat jelata, atau kasta-kasta
yang berjenjang juga dipelajari sosiologi. Sampai tahap tertentu sosiologi
memang menyentuh bahasa. Objek utama sosiologi bukan bahasa, melainkan masyarakat,
dan dengan tujuan mendeskripsikan masyarakat dan tingkah laku. Dan objek utama
sosiolinguistik adalah variasi bahasa, bukan masyarakat.
2.
sosiolinguistik dengan Linguistik Umum
Linguistik
umum (general linguistics) seringkali disebut linguistik saja, mencakup
fonologi, morfologi, dan sintaksis. Linguistik disini hanya berbicara tentang
struktur bahasa, mencakup bidang struktur bunyi, struktur morfologi, struktur
kalimat dan struktur wacana. Linguistik menitik beratkan pembicaraan pada
bunyi-bunyi bahasa, karena atas dasar anggapan, bahasa itu berupa bunyi-bunyi
yang berstruktur dan bersistem. Linguistik mempunyai pandangan monolitik
terhadap bahasa. Artinya, bahasa dianggap satu sistem yang tunggal, 1.
Linguistik melihat bahasa sebagai suatu sistem tertutup suatu sistem yang
berdiri sendiri terlepas dari kaitannya dengan struktur masyarakat. 2.
Sosiolinguistik melihat bahasa sebagai suatu sistem tetapi yang berkaitan
dengan struktur masyarakat, bahasa dilihat sebagai sistem yang tidak terlepas
dari ciri-ciri penutur dan dari nilai-nilai sosiobudaya yang dipatuhi oleh
penutur itu, jadi bahasa dilihat sebagai sistem yang terbuka. Sosiolinguistik
menitik beratkan fungsi bahasa dalam penggunaan, makna bahasa secara sosial.
3.
Sosiolinguistik dengan Dialektologi
Dialektologi
adalah kajian tentang variasi bahasa. Dialektologi mempelajari berbagai dialek
dalam suatu bahasa yang tersebar diberbagai wilayah. Tujuan untuk mencari
hubungan kekeluargaan diantara berbagai dialek-dialek itu juga menentukan sejarah
perubahan bunyi atau bentuk kata, berikut maknanya, dari masa ke masa dan dari
saru tempat ke tempat lain. Titik berat kajian terletak pada kata. Setelah
ditemukan sejumlah kata yang mempunyai berbagai bentuk atau lafal pada sejumlah
dialek diberbagi tempat, dialektologi membuat semacam peta, yakni peta dialek.
Peta itu tertera garis-garis yang menghubungkan tempat satu ketempat yang lain.
4.
Sosiolinguistik dengan Retorika
Retorika
sebagai kajian tentang tutur terpilih. Salah satu cabangnya adalah kajian
tentang gaya bahasa. Seseorang yang akan bertutur memepunyai kesempatan untuk
menggunakan berbagai variasi dan untuk itu bahasa menyediakan bahan-bahannya.
Retorika mempunyai kesejajaran dengan sosiolinguistik, yaitu variasi bahasa
sebagai objek studi keduanya. Tetapi tidak seperti retorika. Sosiolonguistik
tidak hanya memperhatikan bentuk-bentuk bahasa yang terpilih saja.
Sosiolinguistik mempelajari semua variasi yang ada, kemudian dikaitkan dengan
dasar atau faktor yang memunculkan variasi itu. Retorika cenderung kearah
kajian tutur individu.
5.
Sosiolinguistik dengan Psikologi Sosial
Sosiologi
sosial merupakan paduan antara kajian sosiologi dengan psikologi, tetapi
merupakan bagian dari kajian psikologi. Psikologi mengurusi masalah mental individu,
seperti inteligensi, minat, sikap, kepribadian, dan semacamnya. Sosiolinguistik
berkaitan dengan bahasa masyarakat, hubungan antara sosiolinguistik dengan
psikologi sosial tentu ada. Pendekatan psikologi sosial dipakai di dalam
menganalisis.
6.
Sosiolinguistik dengan Antropologi
Antropologi
adalah kajian tentang masyarakat dari sudut kebudayaan dalam arti luas.
Kebudayaan dalam arti luas seperti kebiasaan, adat, hukum, nilai, lembaga
sosial, religi, teknologi, bahasa. Bagi antropologi bahasa dianggap sebagai
ciri penting bagi jati diri (identitas) bagi sekelompok orang berdasarkan
etnik.
7.
Sosiolinguistik Makro dengan Sosiolinguistik Mikro
sosiolinguistik
makro adalah ruang lingkup sosiolinguistik yang berhubungan dengan masalah
prilaku bahasa dan struktur sosial. Kajian intinya adalah komunikasi antar
kelompok, barangkali didalam konteks satu kelompok masyarakat, misalnya tentang
penggunaan bahasa ibu dengan bahasa local oleh kelompok-kelompok linguistic
minoritas. Sedangkan sosiolinguistik mikro adalah ruang lingkup sosiolinguistik
yang berhubungan dengan kelompok kecil. Titik pusat pengkajian mikro
sosiolinguistik adalah tingkah ujar (speech act) (Sharle,1965) yang terjadi
didalam kelompok-kelompok primair menurut sosiolog, dan tingkah ujar itu
dimodifikasi oleh variable-variabel seperti status keakraban (intimasi),
pertalian keluarga, sikap dan tujuan antar tiap anggota kelompok. Kebanyakan
variable linguistik digolongkan kedalam kelompok yang umunya disebut register
(Crystal dan Davi, 1969) dan bukan dalam kelompok dialek, yaitu variable yang
diakibatkan oleh penggunaan bahasa oleh individu dalam variable tertentuyang
diamati,dan bukan pula variasi yang diakobatkan oleh karakteristik yang
relative permenen pada diri si pemakai bahasa seperti umur, kelas sosioal,
pendidikan dan seterusnya.
Kedua
istilah ini, makro dan mikro mengaju pada luas dan sempit cakupan. Jika
sosiolinhuistik membicarakan masalah-masalah “besar dan luas”, ia masuk
sosiolinguistik makro. Sebaliknya, jika yang dibicarakan masalah-masalah “kecil
dan sempit ” ia masuk sosiolinguistik mikro.
Sosiolinguistik
mikro menurut Roger Bell (1976), lebih menekankan perhatian pada interaksi
bahasa antar penutur didalam suatu kelompok guyuk tutur (intragrupinteraction), sedangkan sosiologi makro menitik beratkan
perhatian kepada interaksi antar penutur dalam kontek antar kelompok (intragrupinteraction).
Sosiolinguistik
Dengan Ilmu Lain
Sosiolinguistik mengkaji bahasa, masyarakat, dan hubungan
bahasa dengan masyarakat. Cakupan sosiolinguistik akan semakin jelas jika
dilihat hubungan sosiolinguistik denga ilmu lain yang terkait. Ada 3 sub ilmu
yang berkaitan dengan sosiolinguistik, antara lain:
a.
Sosiolinguistik dengan Ilmu Sosiologi
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan mausia
sebagai individu ataupun sebagai kelompok masyarakat. Dengan demikian objek
kajian sosiologi adalah proses hubungan antar manusia dalam masyarakat.
Sumarsono dan Paina, (2002; 5) mengatakan bahwa sosiologi mempelajari antara
lain struktur sosial, organisasi kemasyarakatan, hubungan antar anggota
masyarakat dan tingkah laku masyarakat.
Keeratan hubungan sosiolinguistik dengan sosiologi dapat dilihat dalam
penggunaan metode penelitian. Misalnya dalam pengumpulan data penelitian, baik
sosiologi maupun sosiolinguistik menggunakan metode wawancara, rekaman,
pengumpulan dokumen, dsb. Sedangkan dalam pengolahan data menggunakan metode
deskriptif ( Sumarsono dan Paina, 2002:6).
b.
Sosiolinguistik dengan Pragmatik
Pragmatik adalah (1). Aspek-aspek pemakaian bahasa atau konteks luar bahasa
yang memberikan sumbangan pada makna ujaran, (2). Syarat-syarat yang
mengakibatkan serasi atau tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi.
Kridalaksana (1993:176)
Keeratan hubungan sosiolinguistik dengan pragmatik dapat dilihat pada
penggunaan bahasa dalam masyarakat misalnya komunikasi akan menjadi lancar (sosiolinguistik)
apabila pembicara atau mitra wicara memiliki pengetahuan yang sama (pragmatik)
sehingga komunikasi akan menjadi serasi.
c.
Sosiolinguistik dengan Antropologi
Antropologi mempelajari manusia dan kebudayaan, system kemasyarakatan.
Antropologi adalah kajian tentang masyarakat dari sudut kebudayaan dalam arti
luas yang mencakup hal-hal seperti kebiasaan, adat, hukum, nilai, lembaga
sosial, religi, teknologi, dan bahasa (sumarsono dan Paina, (2002: 13).
Hubungan antara sosiolinguistik dengan antropologi, bahwa bagi antropologi,
bahasa sering kali dianggap sebagai ciri penting bagi jati diri
sekelompok orang berdasarkan etnik. Setiap etnik akan berkomunikasi
denggan etnik lain. Dengan bahasa masyarakat kita dapat mempelajari kebudayaan.
(Sumarsono dan Paina, 2003:13).
Demikian keterkaitan sosiolinguistik dengan ilmu lain yang dapat memberikan
gambaran secara ringkas tentang komonikasi antar masyarakat dari sudut
sosiologi, pragmatik dan antropologi.
Ruang Lingkup Sosiolingusitik
Sosiolinguitik
meliputi tiga hal, yakni bahasa, masyarakat, dan hubungan antara bahasa dan
masyarakat. Cakupan sosiolinguistik akan semakin jelas jika kita lihat paparan
yang membandigkan sosiolinguistik dengan dengan bidang studi lain yang terkait
sebagaimana dijelaskan di bawah ini:
1.
Sosiolinguistik dengan Sosiologi
Sosiologi
mempelajari anatara lain struktur sosial, organisasi kemasyarakatan, hubungan
antar anggota masyarakat, tingkah laku masyarakat. Secara konkret, sosiologi
mempelajari kelompok-kelompok dalam masyarakat. Di dalam masyarakat ada semacam
lapisan, seperti lapisan penguasa dan lapisan rakyat jelata, atau kasta-kasta
yang berjenjang juga dipelajari sosiologi. Sampai tahap tertentu sosiologi
memang menyentuh bahasa. Objek utama sosiologi bukan bahasa, melainkan
masyarakat, dan dengan tujuan mendeskripsikan masyarakat dan tingkah laku. Dan
objek utama sosiolinguistik adalah variasi bahasa, bukan masyarakat.
2.
sosiolinguistik dengan Linguistik Umum
Linguistik
umum (general linguistics) seringkali disebut linguistik saja, mencakup
fonologi, morfologi, dan sintaksis. Linguistik disini hanya berbicara tentang
struktur bahasa, mencakup bidang struktur bunyi, struktur morfologi, struktur
kalimat dan struktur wacana. Linguistik menitik beratkan pembicaraan pada
bunyi-bunyi bahasa, karena atas dasar anggapan, bahasa itu berupa bunyi-bunyi
yang berstruktur dan bersistem. Linguistik mempunyai pandangan monolitik
terhadap bahasa. Artinya, bahasa dianggap satu sistem yang tunggal, 1.
Linguistik melihat bahasa sebagai suatu sistem tertutup suatu sistem yang
berdiri sendiri terlepas dari kaitannya dengan struktur masyarakat. 2.
Sosiolinguistik melihat bahasa sebagai suatu sistem tetapi yang berkaitan
dengan struktur masyarakat, bahasa dilihat sebagai sistem yang tidak terlepas
dari ciri-ciri penutur dan dari nilai-nilai sosiobudaya yang dipatuhi oleh
penutur itu, jadi bahasa dilihat sebagai sistem yang terbuka. Sosiolinguistik
menitik beratkan fungsi bahasa dalam penggunaan, makna bahasa secara sosial.
3.
Sosiolinguistik dengan Dialektologi
Dialektologi
adalah kajian tentang variasi bahasa. Dialektologi mempelajari berbagai dialek
dalam suatu bahasa yang tersebar diberbagai wilayah. Tujuan untuk mencari
hubungan kekeluargaan diantara berbagai dialek-dialek itu juga menentukan
sejarah perubahan bunyi atau bentuk kata, berikut maknanya, dari masa ke masa
dan dari saru tempat ke tempat lain. Titik berat kajian terletak pada kata.
Setelah ditemukan sejumlah kata yang mempunyai berbagai bentuk atau lafal pada
sejumlah dialek diberbagi tempat, dialektologi membuat semacam peta, yakni peta
dialek. Peta itu tertera garis-garis yang menghubungkan tempat satu ketempat
yang lain.
4.
Sosiolinguistik dengan Retorika
Retorika
sebagai kajian tentang tutur terpilih. Salah satu cabangnya adalah kajian
tentang gaya bahasa. Seseorang yang akan bertutur memepunyai kesempatan untuk
menggunakan berbagai variasi dan untuk itu bahasa menyediakan bahan-bahannya.
Retorika mempunyai kesejajaran dengan sosiolinguistik, yaitu variasi bahasa
sebagai objek studi keduanya. Tetapi tidak seperti retorika. Sosiolonguistik
tidak hanya memperhatikan bentuk-bentuk bahasa yang terpilih saja.
Sosiolinguistik mempelajari semua variasi yang ada, kemudian dikaitkan dengan
dasar atau faktor yang memunculkan variasi itu. Retorika cenderung kearah
kajian tutur individu.
5.
Sosiolinguistik dengan Psikologi Sosial
Sosiologi
sosial merupakan paduan antara kajian sosiologi dengan psikologi, tetapi
merupakan bagian dari kajian psikologi. Psikologi mengurusi masalah mental
individu, seperti inteligensi, minat, sikap, kepribadian, dan semacamnya.
Sosiolinguistik berkaitan dengan bahasa masyarakat, hubungan antara
sosiolinguistik dengan psikologi sosial tentu ada. Pendekatan psikologi sosial
dipakai di dalam menganalisis.
6.
Sosiolinguistik dengan Antropologi
Antropologi
adalah kajian tentang masyarakat dari sudut kebudayaan dalam arti luas.
Kebudayaan dalam arti luas seperti kebiasaan, adat, hukum, nilai, lembaga
sosial, religi, teknologi, bahasa. Bagi antropologi bahasa dianggap sebagai
ciri penting bagi jati diri (identitas) bagi sekelompok orang berdasarkan
etnik.
7.
Sosiolinguistik Makro dengan Sosiolinguistik Mikro
sosiolinguistik
makro adalah ruang lingkup sosiolinguistik yang berhubungan dengan masalah
prilaku bahasa dan struktur sosial. Kajian intinya adalah komunikasi antar
kelompok, barangkali didalam konteks satu kelompok masyarakat, misalnya tentang
penggunaan bahasa ibu dengan bahasa local oleh kelompok-kelompok linguistic
minoritas. Sedangkan sosiolinguistik mikro adalah ruang lingkup sosiolinguistik
yang berhubungan dengan kelompok kecil. Titik pusat pengkajian mikro
sosiolinguistik adalah tingkah ujar (speech act) (Sharle,1965) yang terjadi
didalam kelompok-kelompok primair menurut sosiolog, dan tingkah ujar itu
dimodifikasi oleh variable-variabel seperti status keakraban (intimasi),
pertalian keluarga, sikap dan tujuan antar tiap anggota kelompok. Kebanyakan
variable linguistik digolongkan kedalam kelompok yang umunya disebut register
(Crystal dan Davi, 1969) dan bukan dalam kelompok dialek, yaitu variable yang
diakibatkan oleh penggunaan bahasa oleh individu dalam variable tertentuyang
diamati,dan bukan pula variasi yang diakobatkan oleh karakteristik yang
relative permenen pada diri si pemakai bahasa seperti umur, kelas sosioal,
pendidikan dan seterusnya.
Kedua
istilah ini, makro dan mikro mengaju pada luas dan sempit cakupan. Jika
sosiolinhuistik membicarakan masalah-masalah “besar dan luas”, ia masuk
sosiolinguistik makro. Sebaliknya, jika yang dibicarakan masalah-masalah “kecil
dan sempit ” ia masuk sosiolinguistik mikro.
Sosiolinguistik
mikro menurut Roger Bell (1976), lebih menekankan perhatian pada interaksi
bahasa antar penutur didalam suatu kelompok guyuk tutur (intragrupinteraction), sedangkan sosiologi makro menitik beratkan
perhatian kepada interaksi antar penutur dalam kontek antar kelompok (intragrupinteraction).
Hubungan
bahasa dengan faktor sosial
Manusia adalah mahkluk
sosial yang tidak dapat hidup sendiri melainkan selalu berinteraksi dengan
sesamanya. Untuk keperluan tersebut, manusia menggunakan bahasa sebagai alat
komunikasi sekaligus sebagai identitas kelompok. Hal tersebut dapat dibuktikan
dengan terbentuknya berbagai bahasa di dunia yang memiliki ciri-ciri yang unik
yang menyebabkannya berbeda dengan bahasa lainnya.
Hubungan antara bahasa dengan konteks sosial tersebut dipelajari
dalam bidang Sosiolinguistik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Trudgill bahwa
“Sosiolinguistik adalah bagian linguistik yang berkaitan dengan bahasa,
fenomena bahasa dan budaya. Bidang ini juga mengkaji fenomena masyarakat dan
berkaitan dengan bidang sains sosial seperti Antropologi atau sistem kerabat
(Antropologi) bisa juga melibatkan geografi dan sosiologi serta psychologi
sosial”.
Manakala, Fishman menyatakan bahwa Sosiolinguistik memiliki
komponen utama yaitu ciri-ciri bahasa dan fungsi bahasa. Fungsi bahasa dimaksud
adalah fungsi sosial (regulatory) yaitu untuk membentuk arahan dan fungsi
interpersonal yaitu menjaga hubungan baik serta fungsi imajinatif yaitu untuk
menerangkan alam fantasi serta fungsi emosi seperti untuk mengungkapkan suasana
hati seperti marah, sedih, gembira dan apresiasi. Perkembangan bahasa yang
sejalan dengan perkembangan kehidupan manusia di abad modern menunjukkan
fenomena yang berubah-ubah antara lain dengan penggunaan bahasa sebagai alat
pergaulan tertentu yang dikenal dengan variasi bahasa seperti jargon dan argot.
2.2 Menjelaskan hubungan bahasa dengan kelas sosial.
Kelas sosial (sosial class) mengacu pada golongan masyarakat
yang mempunyai kesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan seperti ekonomi,
pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta, dan sebagainya. Misalnya si A adalah
seorang bapak di keluarganya, yang juga berstatus sosial sebagai guru.
Jika dia guru di sekolah negeri , dia juga masuk ke dalam kelas pegawai negeri.
Jika dia seorang sarjana, dia bisa masuk kelas sosial golongan “terdidik” dan
sebagainya.
Ragam bahasa kelas sosial
Kita melihat di Indonesia kelas sekelompok pejabat yang
mempunyai kedudukan tinggi. Tetapi ragam bahasanya justru nonbaku. Ragam bahasa
mereka dapat dikenali dari segi lafal mereka, yaitu akhiran –kan yang
dilafalkan –ken. Jadi perbedaan atau penggolongan kelompok masyarakat
manusia tercermin dalam ragam bahasa golongan masyarakat itu.
Peranan Labov
Tahun 1966, William Labov menerbitkan hasil penelitiannya
yang luas tentang tutur kota New York, berjudul The Social Stratification of
English in New York City (lapisan sosial Bahasa Inggris di Kota New York). Ia
mengadakan wawancara yang direkam, tidak dengan sejumlah kecil informan, hanya
terdiri dari 340 orang. Dengan ini Lobov memasukkan metode sosiologi ke dalam
penelitiannya. Sosiologi menggunakan metode pngukuran kuantitatif dengan jumlah
besar, dan dengan metode sampling.
Kelas sosial dan ragam baku
Ada kaidah yang baku dalam bahasa Inggris. Jika subjek
adalah kata ganti orang ke tiga tunggal (she, he, it), predikat kata kerjanya
harus menggunakan sifiks-s. kemudian diadakan penelitian apakah ada hubungan
antara kelompok sosial dengan gejala bahasa ini. Penelitian diadakan di dua
tempat, yaitu di Detroit (AS) dan di Norwich (Inggris). Informannya meliputi
berbagai tingkat kelas sosial, yaitu:
Kelas Menengah Tinggi (KMT)
Kelas Menengah Atas (KMA)
Kelas pekerja (buruh) menengah (KPM)
Kelas pekerja bawah (KPB)
Keterkaitan Bahasa dengan Komunikasi
Bahasa dengan komunikasai sangat berhubungan. Dalam setiap
komunikasi bahasa ada dua pihak yang terlibat, yaitu pengirim pesan (sender)
dan penerima pesan (receiver). Ujaran (berupa kalimat atau kalimat-kalimat)
yang digunakan untuk menyampaikan pesan (berupa gagasan, pikiran, saran, dan
sebagainya) itu disebut pesan. Dalam ini pesan tidak lain pembawa gagasan
(pikiran, saran, dan sebagainya) yang disampaikan pengirim (penutur) kepada
penerima (pendengar). Setiap proses komunikasi bahasa dimulai dengan si pengirim
merimuskan terlebih dahulu yang ingin diujarkan dalam suatu kerangka gagasan.
Proses ini dikenal sebagai istilah semantic encoding.
Ada dua macam komunikasi bahasa, yaitu komunikasi searah dan
komunikasi dua arah. Dalam komunikasi searah, si pengirim tetap sebagai
pengirim, dan si penerima tetap sebagai penerima. Misalnya, dealam komunikasi
yang bersifat memberitahukan, khotbah di mesjid atau gereja, ceramah yang tidak
diikuti Tanya jawab. Dalam komunikasi dua arah, secara berganti-ganti si
pengirim bisa menjadi penerima, dan penerima menjadi pangirim. Komunikasi dua
arah ini terjadi dalam rapat, perundingan, diskusi dan sebagainya.
Sebagai alat komunikasi, bahasa itu terdiri dari dua
aspek yaitu:
a. Aspek linguistic
Aspek nonlinguistik atau paralinguistic
Kedua aspek itu bekerjasama dalam membangun komunikasi
bahasa. Aspek linguistik mencakup tataran fonologis, morfologis, dan sintaksis.
Ketiga tataran ini mendukung terbentuknya yang akan disampaikan, yaitu semantik
(yang di dalamnya terdapat makna, gagasan, idea tau konsep). Aspek
paralinguistik mencakup:
Kualitas ujaran, yaitu pola ujaran seseorang seperti
falsetto (suara tinggi), staccato (suara terputus-putus), dan sebagainya.
Unsur supra segmental, yaitu tekanan (stress), nada (pitch),
dan intonasi.
Jarak dan gerak-gerik tubuh, seperti gerakan tangan, anggukan kepala, dan sebagainya.
Jarak dan gerak-gerik tubuh, seperti gerakan tangan, anggukan kepala, dan sebagainya.
Rabaan, yakni yang berkenaan dengan indera perasa (pada
kulit).v
Aspek linguistic dan paralinguistik berfungsi sebagai alat komunikasi, bersama-sama dengan konteks situasi membentuk atau membangun situasi tertentu dalam proses komunikasi.
Aspek linguistic dan paralinguistik berfungsi sebagai alat komunikasi, bersama-sama dengan konteks situasi membentuk atau membangun situasi tertentu dalam proses komunikasi.
b. Pengaruh bahasa
dalam Ragam kelas Sosial
Perkembangan bahasa yang searah dengan perkembangan
kehidupan manusia di abad modern menunjukkan fenomena yang berubah-ubah antara
lain dengan penggunaan bahasa sebagai alat pergaulan tertentu yang dikenal
dengan variasi bahasa.
2.3 Menjelaskan hubungan bahasa dengan jenis kelamin.
Di dalam sosiolinguistik, bahasa dan jenis kelamin memiliki
hubungan yang sangat erat. Secara khusus, pertanyaan yang telah menjamur
sebagai bahan diskusi adalah, “mengapa cara berbicara wanita berbeda dengan
laki-laki?” Dalam kata lain, kita tertuju pada beberapa factor yang menyebabkan
wanita menggunakan bahasa standar lebih sering dibanding pria. Di dalam
menjawab pertanyaan tersebut, kita harus menentukan bahasa sebagai bagian
social, perbuatan yang berisi nilai, yang mencerminkan keruwetan jaringan
social, politik, budaya, dan hubungan usia dalam sebuah masyarakat.
Beberapa ahli bahasa percaya bahwa wanita sadar di dalam
masyarakat status mereka lebih rendah dari pada laki-laki, mereka menggunakan
bentuk bahasa yang lebih standar dari pada laki-laki yang menghubungkan cara
masyarakat memperlakukan wanita. Kesenjangan antara pria dan wanita memang
terlihat sangat jelas. Dari segi fisik, wanita terlihat lebih gemuk namun tidak
berotot dan wanita lebih lemah dibanding dengan pria. Begitu juga dengan suara,
wanita mempunyai suara yang berbeda dengan pria. Di samping itu, factor
sosiokultural juga mempengaruhi perbedaan dintara keduanya dalam berbahasa atau
berbicara. Misalnya, di dalam bidang pekerjaan, wanita memiliki peran yang
berbeda dalam suatu masyarakat.
Menurut Janet Holmes, women "are designated the role of
modelling correct behaviour in the community." Dalam sudut pamdang ini, di
dalam berbicara wanita diharapkan lebih sopan. Namun, ini tidak selalu benar.
Kita semua tahu bahwa hubungan antara ibu dan anaknya atau suami dan istri biasanya
tidak formal, diselingi dengan colloquial atau bentuk ujaran sehari-hari.
Selain itu, tidak dapat dibayangkan untuk seorang wanita menggunakan kata seru/lontaran yang “keras”, seperti damn atau shit; wanita hanya dapat bilang oh dear atau fudge. Robin Lakoff percaya bahwa syntax yang lebih banyak digunakan oleh wanita adalah question tag, seperti You'd never do that, would you?
Dengan menggunakan bahasa yang sopan atau standar, wanita mencoba melindungai wajahnya, (keinginan atau kebutuhan mereka). Dalam kata lain, wanita menuntut status social yang lebih.
Selain itu, tidak dapat dibayangkan untuk seorang wanita menggunakan kata seru/lontaran yang “keras”, seperti damn atau shit; wanita hanya dapat bilang oh dear atau fudge. Robin Lakoff percaya bahwa syntax yang lebih banyak digunakan oleh wanita adalah question tag, seperti You'd never do that, would you?
Dengan menggunakan bahasa yang sopan atau standar, wanita mencoba melindungai wajahnya, (keinginan atau kebutuhan mereka). Dalam kata lain, wanita menuntut status social yang lebih.
Selain itu ada beberapa penyebab terjadinya perbedaan
berbahasa antara pria dan wanita, diantaranya dalam fonologi, morfologi, dan
diksi. Dalam segi fonologi, antara pria dan wanita memiliki beberapa perbedaan,
seperti halnya di Amerika wanita menggunakan palatal velar tidak beraspirasi,
seperti kata kjatsa (diucapkan oleh wanita) dan djatsa (diucapkan oleh pria).
Di scotlandia, kebanyakan wanita menggunakan konsonan /t/ pada kata got, not,
water, dan sebagainya. Sedangkan prianya lebih sering mengubah konsonan /t/
dengan konsonan glottal tak beraspirasi. Dalam bidang morfologi, Lakoff
menyatakan bahwa wanita sering menggunakan kata-kata untuk warna, seperti
mauve, beige, aquamarine, dan lavender yang mana kata-kata ini jarang digunakan
oleh pria. Selain itu, wanita juga sering menggunakan kata sifat, seperti
adorable, charming, divine, lovely, dan sweet.
Dilihat dari diksi, wanita memiliki kosa kata sendiri untuk
menunjukkan efek tertentu terhadap mereka. Kata dan ungkapan seperti so good,
adorable, darling, dan fantastic. Di samping itu bhasa inggris membuat
perbedaan kata tertentu berdasarkan jenis kelamin seperti actor-actress,
waiter-waitress, mr.-mrs. Pasangan kata lain yang menunjukkan perbedaan yang serupa
adalah boy-girl, man-woman, bachelor-spinter dan lain sebagainya. Hal ini
terjadi karena adanya kesadaran dari sebagian komunitas masyarakat yang tidak
kentara bahwa perbedaan ini dibuat, dalam pilihan kosa kata, digunakan untuk
menggambarkan masing-masing peranan yang dipegang antara laki-laki dan
perempuan. Dalam hal panggilan wanita juga berbeda dengan pria. Biasanya dalam
menggunakan panggilan untuk mereka (wanita) sering digunakan kata-kata seperti
dear, miss, lady atau bahkan babe (baby). Dalam bersosialisasi, biasanya
laki-laki lebih sering berbicara seputar olah raga, bisnis, politik, materi
formal, atau pajak. Sedangkan topic yang dibicarakan oleh wanita lebih menjurus
kepada masalah kehidupan social, buku, makanan, minuman, dan gaya hidup.
2.4 Menjelaskan hubungan bahasa dengan usia.
Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan bahasa tidak semata-mata tidak
didasarkan atas prinsip well-formed dalam sintaksis, melainkan atas
dasar kepentingan agar komunikasi tetap dapat berjalan. Lebih tepatnya, dengan
mengikuti kecenderungan dalam etnometologi, bahasa digunakan oleh masyarakat
tutur sebagai cara para peserta interaksi saling memahami apa yang mereka
ujarkan. Atas dasar ini, pertama, dapat di pahami dan memang sering kita
temukan, bahwa komunikasi tetap dapat berjalan meskipun menggunakan bahasa yang
tidak apik secara sintaksis; dan kedua, demi kebutuhan para anggota masyarakat
tutur untuk mengorganisasi dan memahami kegiatan mereka, selain tata bahasa,
makna juga merupakan hal yang tidak dapat diabaikan dalam analisis bahasa.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa perbedaan utama antara sintaksis dan
pragmatik, sekaligus menyatakan pentingnya study pragmatik dalam lingustik,
terletak pada makna ujaran dan pada pengguna bahasa. Salah satunya adalah
bahasa berpengaruh pada tingkat usia. Yaitu bagaimana kita menggunakan bahasa
pada orang yang lebih tua, dengan sesama/sebaya, atau bahkan dengan anak-anak.
2.5 Menjelaskan hubungan bahasa dengan seni dan religi.
Bahasa, seni dan religi adalah tiga hal yang tidak
terpisahkan. Dalam bahasa ada kesenian dan religi. Sebaliknya dalam seni dan
agama terdapat bahasa. Ketiganya merupakan unsur kebudayaan yang universal.
Bahasa, seni dan religi merupakan 3 dari 7 unsur kebudayaan universal. Bahasa menempati
urutan pertama, religi urutan keenam dan kesenian urutan ke ketujuh. Menurut
Robert Sibarani (2002), bahasa ditempatkan urutan pertama karena manusia
sebagai makhluk biologis harus berinteraksi dan berkomunikasi dalam kelompok
sosial.
Untuk mengadakan interaksi dan komunikasi, manusia
memerlukan bahasa. Bahasa merupakan kebudayaan yang pertama dimiliki setiap
manusia dan bahasa itu dapat berkembang karena akal atau sistem pengetahuan
manusia. Dalam proses kehidupannya, manusia kemudian menyadari dirinya sebagai
makhluk yang lemah dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya, maka lahirlah
keyakinan didalam diri manusia bahwa ada kekuatan lain yang maha dahsyat di
luar dirinya. Timbul dan berkembanglah religi. Untuk mengiringi kepercayaan
atau sistem religi itu supaya lebih bersemangat dan lebih semarak maka
diciptakanlah seni. Berdasarkan uraian di atas, hubungan bahasa, seni dan
agama/religi/kepercayaan adalah kesenian menyempurnakan dan menyemarakkan
sistem religi dengan menggunakan media bahasa.
Bahasa, seni dan religi merupakan unsur-unsur kebudayaan
universal. Bahasa menempati urutan pertama. Bahasa adalah induk dari segala
kebudayaan. Atas dasar itu, hubungan bahasa, seni dan religi dapat juga
diperoleh dengan memahami hubungan bahasa dengan kebudayaan. Menurut Robert
Sibarani (2002), fungsi bahasa dalam kebudayaan dapat diperinci:
1. Bahasa sebaga sarana pengembangan kebudayaan.
2. bahasa sebagai penerus kebudayaan.
3. Bahasa sebagai inventaris ciri-ciri kebudayaan.
Bahasa sebagai sarana pengembangan kebudayaan mengandung
makna bahwa bahasa berperan sebagai alat atau sarana kebudayaan, untuk
mengembangkan kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan Indonesia dikembangkan melalui
bahasa Indonesia. Khazanah kebudayaan Indonesia dijelaskan dan disebarkan
melalui bahasa Indonesia, sebab penerimaan kebudayaan hanya bisa terwujud
apabila kebudayaan itu dimengerti, dipahami dan dijunjung masyarakat itu
sendiri. Sarana untuk memahami kebudayaan adalah bahasa. Atas dasar itu,
hubungan bahasa dengan kesenian dan religi adalah bahasa sebagai sarana
pengembangan kesenian dan religi. Kesenian dan religi yang ada di Indonesia
dikembangkan melalu bahasa Indonesia. Kesenian dan religi yang tumbuh dan
berkembang di Indonesia adalah kesenian dan religi yang dapat dimengerti dan
dipahami oleh masyarakat Indonesia. Sarana untuk memahami kesenian dan religi
adalah bahasa Indonesia.
Bahasa sebagai jalur penerus kebudayaan mengandung makna
bahwa bahasa berperan sebagai sarana pewarisan kebudayaan dari generasi ke
generasi. Menurut Robert Sibarani (2002), kebudayaan nenek moyang yang meliputi
pola hidup, tingkah laku, adat istiadat, cara berpakaian, dan sebagainya dapat
kita warisi dan wariskan kepada anak cucu kita melalui bahasa. Atas dasar itu,
hubungan bahasa dengan kesenian dan religi adalah bahasa berperan sebagai
sarana pewarisan kebudayaan dari generasi ke generasi. Kesenian dan religi
nenek moyang kita yang sudah ada beratus-ratus tahun lalu masih bisa dipelajari
oleh kita sekarang hanya karena bantuan bahasa. Kesenian dan sistem religi yang
tertulis dalam naskah-naskah lama, yang mungkin ditulis beratus-ratus tahun
lalu bisa kita nikmati sekarang hanya karena ditulis dalam bahasa.
Bahasa sebagai inventaris ciri-ciri kebudayaan mengandung
makna bahwa bahasa berperan dalam penamaan atau pengistilahan suatu unsur
kebudayaan baru sehingga dapat disampaikan dan dimengerti. Menurut Robert
Sibarani (2002), setiap unsur kebudayaan, mulai dari unsur terkecil sampai
unsur terbesar diberi nama atau istilah. Dalam proses pembelajaran dan
pengajaran kebudayaan, nama atau istilah pada unsur kebudayaan sekaligus
berfungsi sebagai inventarisasi kebudayaan tersebut, yang berguna untuk
pengembangan selanjutnya. Atas dasar itu, hubungan bahasa dengan kesenian dan sistem
religi adalah bahasa berperan dalam penamaan atau pengistilahan unsur-unsur
kesenian dan religi baru sehingga dapat disampaikan dan dimengerti oleh yang
menerimanya. Setiap unsur kesenian dan religi, dari unit yang terkecil sampai
yang terbesar diberi nama atau istilah. Dalam proses pembelajaran dan
pengajaran kesenian dan religi. Nama atau istilah itu digunakan untuk
menginventarisasi kesenian dan religi tersebut untuk pengembangan selanjutnya.
Bagaimanakah hubungan religi dengan kesenian? Menurut William
A. Haviland (1999), “kesenian harus dihubungkan dengan, tetapi juga harus
dibedakan dari agama. Garis pemisah di antara keduanya tidak tegas.” Kesenian
dan religi sangat berhubungan, hubungan yang erat itu melahirkan kesenian
religi yang biasa digunakan untuk mengiringi upacara-upacara keagamaan. Dengan
diringi berbagai jenis sastra, nyanyian dan musik, upacara keagamaan
berlangsung dengan semarak, khidmat dan turut membantu mewujudkan situasi dan
keadaan yang membuat umatnya terasa semakin lebih dekat dengan Tuhan Yang Maha
Esa. Kesenian adalah sebagai sarana penyaluran bakti dan pemujaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa.
2.6 Menjelaskan hubungan bahasa dengan budaya/geografi
Ada berbagai toeri mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan.
Ada yang mengatakan bahasa itu merupakanbagian dari kebudayaan, tetapi ada pula
yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda,
namun mempunyai hubungan yang sangat erat, sehingga tidak dapat dipisahkan. Ada
yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi oleh kebudayaan,sehingga segala
hal yang ada dalam kebudayaan akan tercermin di dalam bahasa.begitu pula Sebaliknya,
ada juga yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan dan cara berpikir
manusia atau masyarakat penuturnya.
Menurut Koentjaraningrat sebagaimana dikutip Abdul Chaer dan
Leonie dalam bukunya Sosiolinguistik bahwa bahasa bagian dari kebudayaan. Jadi,
hubunganantara bahasa dan kebudayaanmerupakan hubungan yang subordinatif,
dimana bahasa berada dibawah lingkup kebudayaan.Namun pendapat lain ada yang
mengatakan bahwa bahasadan kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif,
yakni hubungan yang sederajat, yang kedudukannya sama tinggi. Masinambouw
menyebutkan bahwabahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem yang melekat pada
manusia.Kalau kebudayaan itu adalah sistem yang mengatur interaksi manusia didalam
masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai saranaberlangsungnya
interaksi itu. Dengan demikian hubungan bahasa dan kebudayaan seperti anak
kembar siam,dua buah fenomena sangat erat sekalibagaikan dua sisi mata uang,
sisi yang satu sebagai sistem kebahasaan dan sisi yang lain sebagai sistem
kebudayaan. Komponen-komponen lingkungan hidup tersebut terdiri dari dua jenis,
yaitu komponen biotik dan komponen abiotik.Komponen biotik adalah makhluk hidup
yang meliputi hewan, tumbuhan danmanusia. Komponen abiotik adalah benda-benda
tak hidup (mati) antara lain air,tanah, batu, udara dan cahaya matahari.Semua
komponen yang berada di dalamlingkungan hidup merupakan satukesatuan yang tidak
dapat dipisahkan dan membentuk sistem kehidupan yangdisebut ekosistem.Antara
komunitas dan lingkungannya selalu terjadi interaksi. Interaksi ini menciptakan
kesatuan ekologi yangdisebut ekosistem.
Ekosistem merupakan suatu kesatuan fungsional antara komponen
biotik dan komponen abiotik.Ekosistem merupakan suatu interaksi yang komplek
dan memiliki penyusunan yang beragam.Efek langsung perubahan iklim terhadap
kesehatan manusia tidaklah mudahdirumuskan.Definisi perubahan iklim dan efek
langsung bervariasi. Iklim mencakup perubahan suhu permukaan bumi, yang
dipengaruhi letak geografis, ketinggian, dan lingkungan biota suatu
daerah.Kunci perubahan iklim adalah perubahan suhu di suatu tempat di muka
bumi.Perubahan suhu tersebut mempengaruhi angin, hujan, salju,tumbuh‐tumbuhan,
dan setelah itu hewan,termasuk organisme mikro. Jika kita analisis perubahan
suhu permukaan salah satu bagian bumi, sebagai penyebab perubahan lainnya, maka
efek yang paling langsung terhadap kesehatan masnusia adalah efek ekstrim
dingin dan ekstrim panas,relatif terhadap rentang suhu yang toleransi manusia,
tanpa manipulasi diri atau lingkungan.Ketika gelombang panas melanda
Eropa,banyak kematian penduduk lanjut usia tidak terhindarkan. Seperti
dikemukakan oleh Confalonieri (2007), gelombang panas yang menyerang Perancis
di bulan Juli dan Agustus 2003telah menewaskan lebih dari 14.800 orang.Kematian
tersebut merupakan dampak langsung dariiklim ekstrim panas.sesungguhnya efek
iklim terhadap kesehatan secara tidak langsung sudahdikenal sejak lama. Kita
mengenal siklusdemam berdarah yang terkait dengan musim hujan. Begitu juga
dengan serangan influenza, malaria, diare, tifus dan sebagainya.
Penyakit-penyakit tersebut berhubungan dengan perubahan iklim melalui perubahan
kehidupan vektor atau bahan bahan transmisi penyebab penyakit.
Geografi agama dikembangkan olehbeberapa tokoh antara lain
Jongeneel,P. Deffontaines, dan D.E. Sopher.Geografi agama bukan hanya menelaah
pengaruh ruang atas agama dan gejala keagamaan namun juga sebaliknya yakni
pengaruh agama dan gejala keagamaan atas keruangan.Relasi antara agama dan tata
ruang sebenarnya sudah diketahui sejak zaman kuno, salah satu tokohnya yaitu
Hippocrates namun baru mulai populerdi zaman filsuf pencerahan salah satunya
oleh Montesquieu di Prancis.Montesquieu mengungkapkan bahwa agama monotheisme
seprti Yahudi,Kristen, dan Islam lahir di tepi-tepi gurun pasir dengan bentang
alam yang monoton diungkapkanpula bahwa hampir semua agama besar muncul diwilayah
permukaan bumi yang diapit25 dan 35 derajat Lintang Utara.Deffontaines
membicarakan geografi agama dalam 5 pokok:
1. Agama dan geografi sebagai tempat kediaman baik
bagi orang yang masih hidup maupun bagi yang sudah matiserta bagi dewa-dewa.
2. Agama dan penduduk; pengaruh agama atas daerah dan
sejarah penduduk; agama dan macam-macampenduduk; agama dan kota-kota; agama dan
demografi.
3. Agama dan eksploitasi; agama dan pertanian; agama
dan peternakan; agama dan industri; agama danpotensi geografis daerah.
4. Agama dan lalu lintas; pengungsianpara penganut
agama; kegiatan ziarah; perdagangan dan pertukaran barang atas latar belakang
agama; jalan sebagai alat transportasi.
5. Agama dan jenis kehidupan; kalender agama; tata
kerja pemimpin agama; pekerjaan sehari-hari kebiasaan.
Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki
4 unsur pokok, yaitu:
- Alat-alat teknologi.
- Sistem ekonomi.
- Keluarga.
- Kekuasaan politik-Politik.
Bronislaw Malinowski mengatakanada 4 unsur pokok yang
meliputi:
- Sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya.
- Organisasi ekonomi.
- Alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembagapendidikan utama).
- Organisasi kekuatan (politik).
Kebudayaan material
Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat
yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah
temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah
liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya.Kebudayaan material juga mencakup
barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian,
gedung pencakarlangit, dan mesin cuci.
Kebudayaannonmaterial
Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang
diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat,
dan lagu atau tarian tradisional.
2.7 Menjelaskan hubungan bahasa dengan pranata sosial.
Kehidupan bermasyarakat selalu menimbulkan hubungan
antarmanusia dalam suatu lingkungan kehidupan tertentu. Sebagai makhluk sosial,
manusia memerlukan manusia lain untuk berinteraksi dan saling memenuhi
kebutuhan hidupnya yang tidak dapat dipenuhinya sendiri.
Pranata sosial berasal dari bahasa asing social
institutions, itulah sebabnya ada beberapa ahli sosiologi yang mengartikannya
sebagai lembaga kemasyarakatan.
Menurut Horton dan Hunt (1987), yang dimaksud dengan pranata sosial adalah
suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh
masyarakat dianggap penting. Dengan kata lain, pranata sosial adalah sistem
hubungan sosial yang terorganisir yang yang mengejawantahkan nilai-nilai serta
prosedur umum yang mengatur dan memenuhi kegiatan pokok warga masyarakat.
Tiga
kata kunci di dalam pembahasan mengenai pranata sosial adalah:
1. Nilai
dan Norma;
2. Pola
perilaku yang dibakukan atau yang disebut prosedur umum, dan
3. Sistem
hubungan, yakni jaringan peran serta status yang menjadi wahana untuk
melaksanakan perilaku sesuai dengan prosedur umum yang berlaku.
Menurut
Koenjaraningrat (1978) yang dimaksud dengan pranata-pranata sosial adalah
sistem-sistem yang menjadi wahana yang memungkinkan warga masyarakatnya untuk
berinteraksi menurut pola-pola resmi atau suatu sistem tata kelakuan dan
hubungan yang berpusat pada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi
kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan mereka.
Pranata
sosial adalah sesuatu yang bersifat konsepsional,artinya bahwa eksistensinya
hanya dapat ditangkap dan dipahami melalui sarana pikir, dan hanya dapat
dibayangkan dalam imajinasi sebagai suatu konsep atau konstruksi pikir.
Pranata
sosial terdapat dalam setiap masyarakat, baik masyarakat sederhana maupun
masyarakat kompleks atau masyarakat modern, karena pranata sosial merupakan
tuntutan mutlak adanya suatu masyarakat atau komunitas. Sebuah komunitas dimana
manusia tinggal bersama membutuhkan pranata demi tujuan keteraturan. Semakin
kompleks kehidupan masyarakat semakin kompleks pula pranata yang dibutuhkan
atau yang dihasilkan guna pemenuhan kebutuhan pokoknya dalam kehidupan bersama.
Pranata berjalan seiring dengan semakin majunya masyarakat.
Hal-hal di
atas telah membuktikan bahwa bahasa sangat berperan dalam kegiatan manusia.
Secara umum, tujuan utama diciptakannya pranata sosial, selain untuk mengatur
agar kebutuhan hidup manusia dapat terpenuhi secara memadai, juga sekaligus
untuk mengatur agar kehidupan sosial warga masyarakat bisa berjalan dengan
tertib dan lancer sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku di masyarakat itu
sendiri.
Ragam
Bahasa
Bahasa adalah salah satu alat komunikasi. Melalui bahasa
manusia dapat saling berhubungan atau berkomunikasi, saling berbagi pengalaman,
saling belajar dari yang lain, dan meningkatkan kemampuan intelektual. Bahasa
Indonesia memang banyak ragamnya. Hal Ini karena bahasa Indonesia sangat luas
pemakaiannya dan bermacam-macam ragam penuturnya. Oleh karena itu, penutur
harus mampu memilih ragam bahasa yang sesuai dengan dengan keperluannya, apapun
latar belakangnya.
Ragam Bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, orang yang dibicarakan, serta menurut medium pembicara (Bachman, 1990). Seiring dengan perkembangan zaman yang sekarang ini banyak masyarakat yang mengalami perubahan. Bahasa pun juga mengalami perubahan. Perubahan itu berupa variasi-variasi bahasa yang dipakai sesuai keperluannya. Agar banyaknya variasi tidak mengurangi fungsi bahasa sebagai alat komunikasi yang efisien, dalam bahasa timbul mekanisme untuk memilih variasi tertentu yang cocok untuk keperluan tertentu yang disebut ragam standar (Subarianto, 2000)
Macam-macam ragam Bahasa Indonesia dapat dibagi menjadi 3 jenis yaitu
1. berdasarkan media
2. berdasarkan cara pandang penutur
3. berdasarkan topik pembicaraan.
1. Ragam Bahasa Indonesia berdasarkan media
Ditinjau dari media atau sarana yang digunakan untuk menghasilkan bahasa, ragam bahasa terdiri
· Ragam bahasa lisan
· Ragam bahasa tulis
Bahasa yang dihasilkan melalui alat ucap (organ of speech) dengan dinamakan ragam bahasa lisan, sedangkan bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya, dinamakan ragam bahasa tulis. Jadi dalam ragam bahasa lisan, kita berurusan dengan lafal, dalam ragam bahasa tulis, kita berurusan dengan tata cara penulisan (ejaan).
Ragam Lisan
Ragam bahasa baku lisan didukung oleh situasi pemakaian sehingga kemungkinan besar terjadi pelesapan kalimat. Namun, hal itu tidak mengurangi ciri kebakuannya. Walaupun demikian, ketepatan dalam pilihan kata dan bentuk kata serta kelengkapan unsur-unsur di dalam kelengkapan unsur-unsur di dalam struktur kalimat tidak menjadi ciri kebakuan dalam ragam baku lisan karena situasi dan kondisi pembicaraan menjadi pendukung di dalam memahami makna gagasan yang disampaikan secara lisan.
Pembicaraan lisan dalam situasi formal berbeda tuntutan kaidah kebakuannya dengan pembicaraan lisan dalam situasi tidak formal atau santai. Jika ragam bahasa lisan dituliskan, ragam bahasa itu tidak dapat disebut sebagai ragam tulis, tetapi tetap disebut sebagai ragam lisan, hanya saja diwujudkan dalam bentuk tulis. Oleh karena itu, bahasa yang dilihat dari ciri-cirinya tidak menunjukkan ciri-ciri ragam tulis, walaupun direalisasikan dalam bentuk tulis, ragam bahasa serupa itu tidak dapat dikatakan sebagai ragam tulis. Kedua ragam itu masing-masing, ragam tulis dan ragam lisan memiliki ciri kebakuan yang berbeda.
Ciri-ciri ragam lisan:
a.Memerlukan orang kedua/teman bicara;
b.Tergantung situasi, kondisi, ruang & waktu;
c.Tidak harus memperhatikan unsur gramatikal, hanya perlu intonasi serta bahasa tubuh.
d.Berlangsung cepat;
e.Sering dapat berlangsung tanpa alat bantu;
f.Kesalahan dapat langsung dikoreksi;
g.Dapat dibantu dengan gerak tubuh dan mimik wajah serta intonasi
Contoh ragam lisan adalah ‘Sudah saya baca buku itu.’
Ragam Tulis
Dalam penggunaan ragam bahasa baku tulis makna kalimat yang diungkapkannya tidak ditunjang oleh situasi pemakaian, sedangkan ragam bahasa baku lisan makna kalimat yang diungkapkannya ditunjang oleh situasi pemakaian sehingga kemungkinan besar terjadi pelesapan unsur kalimat. Oleh karena itu, dalam penggunaan ragam bahasa baku tulis diperlukan kecermatan dan ketepatan di dalam pemilihan kata, penerapan kaidah ejaan, struktur bentuk kata dan struktur kalimat, serta kelengkapan unsur-unsur bahasa di dalam struktur kalimat.
Ciri-ciri ragam tulis :
1.Tidak memerlukan orang kedua/teman bicara;
2.Tidak tergantung kondisi, situasi & ruang serta waktu;
3.Harus memperhatikan unsur gramatikal;
4.Berlangsung lambat;
5.Selalu memakai alat bantu;
6.Kesalahan tidak dapat langsung dikoreksi;
7.Tidak dapat dibantu dengan gerak tubuh dan mimik muka, hanya terbantu dengan tanda baca.
Contoh ragam tulis adalah ’Saya sudah membaca buku itu.’
2.Ragam Bahasa Indonesia berdasarkan cara pandang penutur
Berdasarkan cara pandang penutur, ragam bahasa Indonesia terdiri dari beberapa ragam diantara nya adalah :
· Ragam dialek
Contoh : ‘Gue udah baca itu buku.’
· Ragam terpelajar
Contoh : ‘Saya sudah membaca buku itu.’
· Ragam resmi
Contoh : ‘Saya sudah membaca buku itu.’
· Ragam tak resmi
Contoh : ‘Saya sudah baca buku itu.’
3.Ragam Bahasa Indonesia berdasarkan topik pembicaraan
Berdasarkan topik pembicaraan, ragam bahasa terdiri dari beberapa ragam diantara nya adalah :
1. Ragam bahasa ilmiah
2. Ragam hukum
3. Ragam bisnis
4. Ragam agama
5. Ragam sosial
6. Ragam kedokteran
7. Ragam sastra
Contoh ragam bahasa berdasarkan topik pembicaraan:
Dia dihukum karena melakukan tindak pidana. (ragam hukum)
Setiap pembelian di atas nilai tertentu akan diberikan diskon.(ragam bisnis)
Cerita itu menggunakan unsur flashback. (ragam sastra)
Anak itu menderita penyakit kuorsior. (ragam kedokteran)
Penderita autis perlu mendapatkan bimbingan yang intensif. (ragam psikologi)
Ragam bahasa baku dapat berupa: ragam bahasa baku tulis dan ragam bahasa baku lisan.
Beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya keragaman bahasa, diantaranya :
• Faktor Budaya atau letak Geografis
• Faktor Ilmu pengetahuan
• Faktor Sejarah
Kesimpulan
Ragam Bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, orang yang dibicarakan, serta menurut media pembicara.
Ragam bahasa terbagi dua jenis yaitu bahasa lisan dan bahasa baku tulis.
Pada ragam bahasa baku tulis kita harus menguasai penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dan menguasai EYD, sedangkan untuk ragam bahasa lisan kita harus mampu mengucapkan dan memakai bahasa Indonesia dengan baik serta bertutur kata sopan.
Variasi Bahasa
Variasi bahasa disebabkan oleh adanya kegiatan interaksi
sosial yang dilakukan oleh masyarakat atau kelompok yang sangat beragam dan
dikarenakan oleh para penuturnya yang tidak homogen. Dalam hal variasi bahasa
ini ada dua pandangan. Pertama, variasi itu dilihat sebagai akibat adanya
keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu. Jadi,
variasi bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan
keragaman fungsi bahasa. Kedua, variasi bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya
sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam.
Dalam pandangan sosiolinguistik, bahasa tidak saja dipandang
sebagai gejala individual, tetapi merupakan gejala sosial. Sebagai gejala
sosial, bahasa dan pemakaiannya tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor
linguistik, tetapi juga oleh faktor-faktor nonlinguistik. Faktor-faktor
nonlinguistik yang mempengaruhi pemakaian bahasa seperti di bawah ini.
- Faktor-faktor sosial: status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis kelamin, dan sebagainya.
- Faktor-faktor situasional: siapa berbicara dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, di mana, dan mengenai masalah apa.
Menurut Chaer (2004:62) variasi bahasa adalah keragaman
bahasa yang disebabkan oleh adanya kegiatan interaksi sosial yang dilakukan
oleh masyarakat atau kelompok yang sangat beragam dan dikarenakan oleh para
penuturnya yang tidak homogen.
Menurut Allan Bell (dalam Coupland dan Adam ,1997:240)
variasi bahasa adalah salah satu aspek yang paling menarik dalam sosiolinguistik.
Prinsip dasar dari variasi bahasa ini adalah penutur tidak selalu berbicara
dalam cara yang sama untuk semua peristiwa atau kejadian. Ini berarti penutur
memiliki alternatif atau piilihan berbicara dengan cara yang berbeda dalam
situasi yang berbeda. Cara berbicara yang berbeda ini dapat menimbulkan maksa
sosial yang berbeda pula.
Jadi, berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
variasi bahasa adalah sejenis ragam bahasa yang pemakaiannya disesuaikan
dengan fungsi dan situasinya, tanpa mengabaikan kaidah-kaidah pokok yang
berlaku dalam bahasa yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan, variasi bahasa itu
terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi
bahasa.
B. Macam-Macam Variasi Bahasa
Sebagai sebuah langue sebuah bahasa mempunyai sistem
dan subsistem yang dipahami sama oleh semua penutur bahasa itu. Namun, karena
penutur bahasa merupakan kumpulan manusia yang tidak homogen, bahasa tersebut
menjadi bervariasi. Terjadinya keberagaman bahasa ini bukan hanya disebabkan
oleh para penuturnya yang tidak homogen, tetapi juga karena interaksi sosial
yang beragam. Setiap kegiatan memerlukan atau menyebabkan terjadinya keragaman
bahasa iu. Keragaman ini akan semakin bertambah kalau bahasa tersebut digunakan
oleh penutur yang sangat banyak, dan dalam wilayah yang sangat luas. Misalnya
bahasa Inggris yang digunakan hampir di seluruh dunia tentu ragamnya juga
bervariasi.
Menurut Martin Joos (dalam Machali, 2009:52) gaya bahasa
adalah ragam bahasa yang disebabkan adanya perbedaan situasi berbahasa atau
perbedaan dalam hubungan antara pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca).
Berdasarkan tingkat keformalannya, Martin Joss (melalui Abdul Chaer, 2004:70)
membedakan variasi bahasa dalam lima bentuk, yaitu ragam beku (frozen),
ragam resmi (formal), ragam usaha (konsultatif), ragam santai (casual),
dan ragam akrab (intimate).
Secara lebih detail variasi ragam bahasa tersebut dibahas di
bawah ini.
- a. Ragam Beku (Frozen)
Ragam ini merupakan variasi bahasa yang paling formal dan
digunakan dalam situasi-situasi khidmat dan upacara-upacara resmi seperti
upacara kenegaraan, khutbah di masjid, tata cara pengambilan sumpah, kitab,
undang-undang, akta notaris, dan surat keputusan. Variasi ini disebut ragam
beku karena pola dan kaidahnya sudah ditetapkan secara mantap dan tidak boleh
diubah. Dalam bentuk tertulis ragam ini dapat kita temui pada dokumen-dokumen
sejarah, undang-undang dasar, akta notaris, naskah perjanjian jual beli dan
surat sewa menyewa.
Ragam beku (frozen) ialah ragam bahasa yang paling
formal dan digunakan dalam situasi-situasi dan upacara-upacara khidmat atau
resmi, misalnya dalam upacara kenegaraan, tata cara pengambilan sumpah, dan
sebagainya. Contoh dalam bentuk tertulisnya seperti akta notaris, surat-surat
keputusan, dokumen-dokumen bersejarah atau berharga seperti undang-undang
dasar, ijazah, naskah-naskah perjanjian jual beli, dan sebagainya. Disebut
ragam beku karena pola dan kaidahnya sudah ditetapkan secara mantap, dan tidak
boleh diubah. Bahkan, tekanan pelafalannya pun tidak boleh berubah sama sekali.
Bahasa yang digunakan dalam ragam ini berciri super formal. Oleh karena itu,
seseorang tidak boleh begitu saja mengubah, karena memang sudah ditetapkan sesuai
ketentuan yang berlaku. Selain itu, bahasa beku sudah lazim digunakan dan sudah
terpatri lama sehingga sulit sekali diubah.
Bentuk ragam beku ini memiliki ciri kalimatnya
panjang-panjang, tidak mudah dipotong atau dipenggal, dan sulit sekali dikenai
ketentuan tata tulis dan ejaan standar. Bentuk ragam beku yang seperti ini
menuntut penutur dan pendengar untuk serius dan memperhatikan apa yang ditulis
atau dibicarakan.
- b. Ragam Resmi (Formal)
Variasi ini biasanya digunakan dalam pidato-pidato kenegaraan,
rapat-rapat dinas, surat-menyurat dinas, ceramah keagamaan, buku-buku
pelajaran, makalah, karya ilmiah, dan sebagainya. Pola dan kaidah bahasa resmi
sudah ditetapkan secara standar dan mantap. Contoh variasi resmi dalam
pembicaraan misalnya dalam acara peminangan, kuliah, pembicaraan seseorang
dengan dekan di kantornya. Pembicaraan ketika seorang mahasiswa menghadap dosen
atau pejabat struktural tertentu di kampus juga merupakan contoh ragam ini.
Karakteristik kalimat dalam ragam ini yaitu lebih lengkap dan kompleks,
menggunakan pola tata bahasa yang tepat dan juga kosa kata standar atau baku.
- c. Ragam Usaha (Konsultatif)
Variasi ini lazim digunakan dalam pembicaraan biasa di
sekolah, rapat-rapat, atau pembicaraan yang berorientasi pada hasil atau
produksi. Jadi, dapat dikatakan bahwa ragam ini merupakan ragam yang paling
operasional. Ragam ini tingkatannya berada antara ragam formal dan ragam
santai.
- d. Ragam Santai (Kasual)
Ragam ini merupakan variasi yang biasa digunakan dalam
situasi yang tidak resmi seperti berbincang-bincang dengan keluarga ketika
berlibur, berolah raga, berekreasi, dan sebagainya. Pada ragam ini banyak
digunakan bentuk alegro atau ujaran yang dipendekkan. Unsur kata-kata
pembentuknya baik secara morfologis maupun sintaksis banyak diwarnai bahasa
daerah.
- e. Ragam Akrab (Intim)
Variasi bahasa ini digunakan oleh penutur dan petutur yang
memiliki hubungan sangat akrab dan dekat seperti dengan anggota keluarga atau
sahabat karib. Ragam ini ditandai dengan penggunaann bahasa yang tidak lengkap,
pendek-pendek, dan artikulasi tidak jelas. Pembicaraan ini terjadi
antarpartisipan yang sudah saling mengerti dan memiliki pengetahuan yang sama.
Dalam menganalisis ragam bahasa berdasarkan tingkat
keformalan ini sangat tergantung dengan situasional ujaran tersebut.
Situasional yang dimaksud ini berkaitan dengan siapa berbicara, bahasa apa yang
digunakan, kepada siapa, kapan, di mana, dan mengenai masalah apa. Jadi, sangat
mungkin dalam satu situasi terjadi pembicaraan dengan ragam yang berbeda
seperti di bawah ini.
Feizal dan Zakky adalah dua sahabat karib. Di pojok kelas
seusai kuliah keduanya tampak berbincang-bincang.
1
Feizal
: Jadi, Cin?
(jadi ikut futsal tidak?)
2
Zakky
: Yoi, janji jadi koor (Jadi, karena saya sudah janji mau menjadi koordinator)
3
Feizal
: Jamnya?
(Jam berapa futsalnya?)
4
Zakky
: Tujuh
malem, Cin (Jam tujuh malam)
Tiba-tiba datang dosen ke dalam kelas.
5 Feisal
:
Selamat siang, Pak. Ada yang ketinggalan?
6
Dosen
:Tolong teman-teman yang lain diberi tahu makalahnya harus dikumpulkan paling
lambat besok ya.
7
Feizal
: Baik, Pak. Nanti saya sampaikan kepada teman-teman yang lain.
8 Dosen
: Oke, terima kasih.
9 Feizal dan Zakky : Terima kasih
kembali, Pak.
Setelah dosen pergi Abdul pun masuk ke dalam kelas.
10
Abdul
: Saya kayaknya gak jadi ikut ntar. (mungkin nanti tidak bisa ikut futsal.)
11 Zakky
: Lha
ngopo? (mengapa tidak jadi ikut futsal?)
12
Abdul
: Ada sodara datang dari Lombok. (Ada saudara saya datang dari Lombok)
13
Feizal
: Ya lain kali aja. (Ya sudah lain kali ikut futsal ya)
14
Abdul
: Siap.
Berdasarkan contoh petikan percakapan di atas, dapat kita
lihat terjadi perubahan ragam bahasa yang digunakan meskipun percakapan
tersebut terjadi dalam satu lokasi dan satu waktu. Percakapan nomor 1-4
merupakan contoh ragam bahasa akrab/intim antara dua sahabat karib. Keakraban
ini dapat kita ketahui dari bahasa yang digunakan seperti sapaan Cin dan
penggunaan bahasa pendek-pendek yang diketahui kedua penutur. Percakapan nomor
5-9 merupakan contoh percakapan ragam usaha yang dilakukan oleh mahasiswa dan
dosen. Keduanya menggunakan bahasa yang lebih formal daripada ragam santai atau
intim. Percakapan nomor 10-14 merupakan contoh ragam bahasa santai, yaitu
percakapan antara teman sekelas tetapi hubungan keduanya tidak sedekat seperti
pada ragam intim.